Pages

Jumat, 19 November 2010

Getting Started Guide

Cinta


Hubungan Al-Qur'an dan Hadis

HADIS DAN HUBUNGANNYA DENGAN AL-QUR’AN

Makalah
Dipresentasikan pada Diskusi Mata Kuliah
Studi al-Qur’an dan as-Sunah
Pada Tanggal    Oktober 2010


Oleh
M. Fathul Mustaqim


Dosen Pengampu
Dr. Aswadi, M. Ag.









INSITUT AGAMA ISLAM TRI BHAKTI (IAIT) KEDIRI
PROGRAM STUDI AGAMA ISLAM
Oktober 2010








KATA PENGANTAR

Penulis panjatkan Puji dan sukur kehadirat Allah yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Studi aql-Qur’an dan as-Sunah.
Dalam penulisan makalah ini penulis banyak menghadapi kesulitan dan hambatan tetapi berkat dorongan dan dukungan dari rekan-rekan oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis sehingga penulisan makalah ini dapat diselesaikan.
Akhir kata semoga makalah ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Namun walaupun makalah ini selesai tentulah masih banyak kekurangan hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki, oleh karena itu kritik dan saran yang mengarah kepada perbaikan isi makalah ini sangat penulis harapkan.


                                                                                     Kediri,   Oktober 2010

                                                                                                Penulis



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….. ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………… iii
BAB I :           PENDAHULUAN
BAB II :          HADIS DAN HUBUNGANNYA DENGAN AL-QUR’AN
               1.      Pengertian dan Bentuk-bentuk Hadis
a.       Pengertian Hadis, Sunnah, Khabar, dan Atsar
b.      Bentuk-bentuk Hadis
              2.       Hubungan Hadis dengan al-Qur’an
a.   Kedudukan hadis
b.   Fungsi Hadis terhadap al-Qur’an
BAB III :        PENUTUP
1.      Kesimpulan
2.      Saran
DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN

            Seluruh umat islam, tanpa terkecuali, telah sepakat bahwa hadis merupakan salah satu sumber ajaran islam. Ia menempati kedudukannya yang sangat penting setelah Al-Qur’an. Kewajiban mengikuti hadis bagi umat islam sama wajibnya dengan mengikuti Al-Qur’an. Oleh karena itu yang melatar belakangi penulisan Makalah ini ialah adakah hubungan hadis yang telah disepakati sebagai salah satu sumber ajaran Islam  dengan Al-Qur’an?
            Berangkat dari permasalahan tersebut di atas, maka Makalah yang kami tulis disini akan mencoba menjawab dan menguraikan  permasalahan tersebut.
            Makalah ini sengaja kami tulis dengan sesederhana mungkin, dengan tujuan untuk dipresentasikan pada mata kuliah Studi Al-Qur’an dan Hadis yang telah ditugaskan kepada penulis dan untuk menambah wawasan keilmuan untuk penulis khususnya serta kapada pembaca pada umumnya. Karena tanpa memahami dan menguasai hadis, siapa pun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an. Sebaliknya, siapapun tidak akan memahami hadis tanpa memahami Al-Qur’an karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis besar syari’at, dan hadis merupakan dasar hukum kedua, yang didalam nya berisi penjabaran dan penjelasan Al-Qur’an. Dengan demikian antara hadis dan Al-Qur’an memiliki kaitan yang sangat erat, yang satu sama lain tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri.
BAB II
HADIS DAN HUBUNGANNYA DENGAN AL-QUR’AN

1.                  Pengertian dan Bentuk-bentuk Hadis
a.         Pengertian Hadis, Sunnah, Khabar, dan Atsar
Kata hadis bersal dari bahasa Arab, yaitu al-hadis, jamaknya al-hadais, al-haditsan, dan al-hudtsan. Secara etimologis, kata ini memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid (yang baru) lawan dari al-qadim (yang lama), dan al-khabar, yang berarti atau berita.[1]
Hadis dapat dilihat pada beberapa ayat Al-Qur’an diantaranya:
ª!$# tA¨tR z`|¡ômr& Ï]ƒÏptø:$# $Y6»tGÏ.
Artinya: Allah telah menurunkan secara bertahap hadis (risalah) yang paling baik dalam bentuk kitab. (Q.S. Az-Zumar: 23)
Allah berfirman,
#sŒÎ)ur |M÷ƒr&u tûïÏ%©!$# tbqàÊqèƒs þÎû $uZÏF»tƒ#uä óÚÍôãr'sù öNåk÷]tã 4Ó®Lym (#qàÊqèƒs Îû B]ƒÏtn ¾ÍnÎŽöxî 4
Artinya:  dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, Maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan hadis (pembicaraan) yang lain. (Q.S. An’am: 68)

                Firman-Nya lagi,
ö@ydur y79s?r& ß]ƒÏym #ÓyqãB
Artinya: Apakah telah sampai kepadamuhadis ( kisah) Musa?
Dari ayat-ayat tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa kata hadis telah digunakan dalam Al-Qur’an dalam arti kisah, komunikasi, risalah.
Sedangkan menurut istilah (terminologi), para ahli mendefinisikan pengertian hadis secara berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya.[2]
Seperti pengertian hadis menurut ahli ushul akan berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh ahli hadis.
Menurut ahli hadis, pengertian hadis ialah:
كُلُّ مَا أُثِرَعَنِ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍـــ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ خَلْقِيَّــةٍ
Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW., baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi. [3]
Ada juga yang memberikan pengertian lain yaitu:
مَا أُضِفَ إِلَى النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم مِنْ قَوْلٍـــ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ َ
Sesuatu yang diasandarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat  beliau.
            Sebagian muhaddisin berpendapat bahwa pengertian hadis di atas merupakan pengertian yang sempit. Menurut mereka, hadis mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas, tidak terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi SAW saja, melaikan termasuk juga disandarkan kepada  para sahabat, dan tabi’in, sebagaimana disebutkan oleh Al-Tirmisi bahwasanya hadis itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu’, yaitu yang disandarkan kepada Nabi SAW. melainkan bisa juga untuk sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan yang disandarkan kepada tabi’in.[4]
            Sementara para ulama ushul memberikan pengertian hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum syara’.[5]
            Berdasarkan pengetian hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW. baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia. Selain itu tidak bisa dikatakan hadis.
            Dalam khazanah ilmu hadis, istilah hadis sering disebut juga dengan istilah sunnah, khabar, dan atsar.
Pengertian Sunnah menurut bahasa adalah jalan yang dilalui, baik terpuji atau tercela. Dari sudut terminologi, para ahli hadis tidak membedakan antara hadis dan sunnah. Menurut mereka, hadis atau sunnah adalah hal-hal yang berasal dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan maupun sifat beiau, dan sifat ini, baik berupa sifat-sifat fisik, moral maupun perilaku. [6]
Secara bahasa, khabar artinya warta atau berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain. Sedangkan Khabar menurut istilah ahli hadis adalah:
مَا أُضِفَ إِلَى النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ غَيْرِهِ
Segala sesuatu yang disandarkan atau erasal dari Nabi SAW., atau dari yang selain Nabi SAW.
Maksudnya bahwa Khabar itu cakupannya lebih luas dibanding dengan hadis. Khabar mencakup segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. dan selain Nabi SAW., seperti perkataan sahabat dan tabiin, sedangkan hadis hanya segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. baik perkataan, perbuatan, maupun taqrir (ketetapan) beliau.[7]
Dari segi bahasa, atsar berarti bekas sesuatu atau sisa sesuatu. Menurut kebanyakan Ulama, atsar mempunyai pengertian yang sama dengan khabar dan hadis, namun menurut sebagian ulama lainnya atsar cakupannya lebih umum dibanding khabar.
Para fuqaha memakai istilah atsar untuk perkataan-perkataan ulama salaf, sahabat, tabiin dan lain-lain.[8]
Dari pengertian tentang hadis, sunnah, khabar, dan atsar, sebagaimana diuraiakan di atas, menurut jumhur ulama ahli hadis, dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadis disebut juga dengan sunnah, khabar, atau atsar. Begitu pula, sunnah dapat disebut dengan hadis, khabar, atau atsar.


b.         Bentuk-bentuk Hadis
            Berdasarkan pengertian tentang hadis di atas telah disebutkan bahwa Hadis mencakup segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW. oleh karena itu, pada bahasan ini akan diuraikan tentang bentuk hadis Qauli (perkataan), Fi’li (perbuatan), Taqrir (ketetapan), Hammi (keinginan), Ahwali (hal ihwal).
1.      Hadis Qauli
Hadis qauli adlah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. dengan kata lain, hadis qauli adalah hadis berupa perkataan Nabi SAW. yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa, dan kisah, baik yang berkaitan dengan aspek akidah, syarat, maupun akhlak maupun yang lainnya.[9]
Di antara contoh hadis qauli adalah hadis tentang kecaman Rasul kepada orang-orang yang mencoba memalsukan hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah SAW.,
عنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَــ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَــذَبَ عَلَيَّ مُتَعَــمِّدًا فَلْيَتَبَــوَّ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه مسلم)
          Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW. bersabda, “Barang siapa sengaja berlaku dusta atas diriku, hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat tinggalnya di neraka”. (HR. Muslim)
2.   Hadis Fi’li
Hadis fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW. dalam hadis tersebut terdapat berita tentang perbuatan Nabi SAW. yang menjadi anutan perilaku para sahabat pada saat itu, menjadi keharusan bagi umat islam untuk pengikutnya.
Hadis yang termasuk kategori ini diantaranya adalah hadis-hadis yang didalamnya terdapat kata-kata kana/yakunu atau ra’aitu/ra’aina.[10]
كَانَ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلّي عَلَى رَاحِلتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ  (رواه الترمذى)
Nabi SAW. shalat di atas tunggangannya, kemana saja tunggangannya itu menghadap. (HR. Tirmidzi)
3.   Hadis Taqriri
            Hadis taqriri adalah hadis yang berupa ketetapan Nabi SAW. terhadap apa yang datang dari sahabatnta. Nabi SAW. membiarkan suatu yang dilakukan oleh para sahabat, setelah memenuhi beberapa syarat baik mengenai pelakunya maupun perbuatannya tanpa memberikan penegasan, apakah membenarkan atau mempermasalahkan. Sikap Nabi yang demikian itu dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqrir, yang dapat dijadikan hujjah atau mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan suatau kepastian syara’.[11]
Diantara contoh hadis taqriri adalah sikap Rasul SAW. yang yang membiarkan para sahabat dalam menafsirkan sabdanya tentang shalat pada suatu peperangan, yaitu,


لايصــلِّيَنَّ اَحَدٌ الْعَـصْرَ إِلاَّ فـِي بَنـِي قُرَيْضَةَ
Janganlah seseorang pun shalat Ashar, kecuali nanti di Bani Quraidhah.
(HR. Bukhari)
Sebagian sahabat memahami larangan itu berdasarkan pada hakikat perintah tersebut sehingga mereka terlambat dalam melaksanakan shalat Ashar. Segolongan sahabat lainnya memahami perintah tersebut untuk segera menuju Bani Quraidah dan serius dalam peperangan dan perjalanannya sehingga dapat shalat tepat pada waktunya. Sikap para sahabat ini dibiarkan oleh Nabi SAW. tanpa ada yang disalahkan atau diingkarinya.
4.   Hadis Hammi
            Yang dimaksud dengan hadis hammi adalah hadis yang berupa keinginan atau hasrat Nabi SAW. yang belum terealisasikan,[12] seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 Asyura. Sebagai contoh adalah hadis dari ibn Abbas, yang artinya sebagai berikut:
Dari Abdulloh ibn Abbas, ia, berkata “ketika Nabi SAW. berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan kepada para sahabat untuk berpuasa, mereka bertanya, ‘Ya Rasulallah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani’. Rasulallah kemudian bersabda, ‘Tahun yang akan datang insya Allah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan’.” (HR. Abu Dawud)
            Nabi SAW. belum sempat merealisasikan hasratnya ini karena beliau wafat sebelum datang bulan ‘Asyura tahun berikutnya. Menurut para Ulama, seperti Asy-Syafi’i dan para pengikutnya, menjalankan hadis hammi ini disunahkan, sebagaimana menjalankan sunnah-sunnah lainnya.
5.   Hadis Ahwali
Hadis ahwali adalah hadis yang berupa hal ikhwal Nabi SAW. yang tidak termasuk ke dalam katagori keempat bentuk hadis di atas. Hadis yang termasuk kategori ini adalah hadis-hadis yang menyangkut sifat-sifat dan kepribadian, serta kadaan fisik Nabi SAW.[13]
كَانَ رَسُــوْلُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم أَحْسَــنَ النَّاسِ خُلُقًـــاَ
Rasul SAW. adalah orang yang paling .mulia akhlaknya. (Mutafaq’alaih)
Tentang keadaan fisik Nabi SAW. dijelaskan dalam hadis,
كَانَ رَسُــوْلُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم أَحْسَــنَ النَّــاسِ وَجْـهًا وَأَحْسَــنَهُ خَــلْقًا لَيـسَ بِالطَّويْلِ الْبَــائِنِ وَلاَ بِالْقَصِــيْرِ (رواه البخاري)
Rasulallah SAW. adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh. Keadaan fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek. (HR. Al-Bukhari)







2.         Hubungan Hadis dengan Al-Qur’an
Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman hidup, sumber dan hukum-hukum dan ajaran islam, antara satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena itu kehadiran hadis, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi Al-Qur’an tersebut. Hal ini sesuai firman Allah SWT.,
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcrã©3xÿtGtƒ  
Artinya: keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka  dan supaya mereka memikirkan, (QS. Al-Nahl: 44)
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an bagi umat manusia, agar al-Qur’an ini dapat dipahami oleh manusia, maka Rasulallah SAW. diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melaluai hadis-hadisnya.
Dimasa Rasulallah SAW. masih hidup, para sahabat mengambil hukum-hukum Islam (syariat) dari al-Qur’an yang mereka terima dan dijelaskan oleh Rasulallah SAW.[14]
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, hadis berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut. Apabila disimpulkan tentang fungsi hadis dalam hubungan dengan Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1.         Bayan Taqrir
Bayan at-taqrir atau disebut juga dengan bayan at-ta’kid dan bayan al-itsbat. Yang dimaksud dengan bayan ini adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadis ini hanya memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an.[15] Suatu contoh hadis yang diriwayatkan Muslim Ibnu Umar, yang berbunyi sebagai berikut:
فَإِذَا رَأَيْتُمُ الْهِـلاَلَ فَصُمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَـأَفْطِرُوْا (رواه مسلم)
Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka puasalah, juga apabila melihat (ra’yu) itu maka berbukalah. (HR. Muslim)
Hadis ini datang men-taqrir ayat Al-Qur’an di bawah ini:
 `yJsù yÍky­ ãNä3YÏB tök¤9$# çmôJÝÁuŠù=sù (
Maka barang siapa mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa ... (QS. Al-Baqarah: 185)
Contoh lain, hadis riwayat dari Abu Hurairah, yang berbunyi sebagai berikut:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: لاَ تَقْبَلُ صَلاَةَ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّ يَتَوَضَّأَ
 (رواه البخارى)
Rasulallah SAW. telah bersabda: tidak diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum ia berwudhu. (HR. Bukhari)
Hadis ini men-taqrir QS Al-Maidah ayat 6 mengenai keharusan berwudhu ketika seseorang akan mendirikan shalat. Ayat dimaksud berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# . . .
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki...
2.         Bayan at-Tafsir
            Yang dimaksud dengan bayan at-tafsir adalah bahwa kehadiran hadis berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum.[16]
            Diantara contoh bayan at-tafsir mujmal adalah seperti hadis yang menerangkan ke-mujmalan-an ayat-ayat tentang perintah Allah SWT. untuk mengerjakan sholat, puasa, zakat, dan haji. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang masalah ibadah tersebut masih bersifat global atau secara garis besarnya saja. Contohnya, kita diperintahkan shalat, namun Al-Qur’an tidak menjelaskan bagaimana cara shalat, tidak menerangkan rukun-rukunnya dan kapan waktu pelaksanaannya. Semua ayat tentang kewajiban shalat tersebut dijelaskan oleh Nabi SAW. dengan sabdanya,
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُنِي أُصَلِّي  (رواه البخارى)
Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat. (HR. Bukhari)
Sebagaimana hadis tersebut, Rasulallah memberikan tata cara shalat yang sempurna. Bukan hanya itu, beliau melengkapi dengan berbagai kegiatan yang dapat menambah pahala ibadah shalat.
Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam Al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan sholat adalah:
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$#  
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku’. (QS. Al-Baqarah 43)
Contoh lain, hadis Rasulallah yang men-taqyid ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mutlaq, antara lain hadis,
لاَتَقْطَعْ يَدُ السَّارِقِ إِلاَّ فِي رُبْعِ دِيْنَارٍ فَصَعِدًا
Tangan pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada (pencurian senilai) seperempat dinar atau lebih. (HR. Mutafaq’alaih menurut lafazh Muslim)
Hadis ini men-taqyid QS. Al-Maidah ayat 38, yaitu:
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îƒÍtã ÒOŠÅ3ym
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Maidah: 38)

3.         Bayan At-Tasri’
Yang dimaksud dengan bayan At-Tasri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-Qur’an atau dalam Al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja. Bayan ini disebut juga dengan zaid ‘ala al-kitab al-karim. Hadis Rasulallah SAW dalam segala bentuknya (baik yang qauli, fi’li maupun taqriri) berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul, yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Ia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat atau yang tidak diketahuinya, dengan menunjukan bimbingan dan menjelaskan duduk persoalannya.[17]  
Hadis-hadis Rasulallah SAW. yang termasuk ke dalam kelompok ini, diantaranya hadis tentang masalah perkawinan (nikah). Allah menghalalkan persetubuhan dengan jalan nikah, dan mengharamkan lantaran zina. Maka bagaimanakah persetubuhan itu terjadi sesudah nikah yang menyalahi syarat? Maka Rasulallah bersabda:
اَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَحُهَا باَطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَ مِنْهَا
(رواه ابوا داود والترمذى)
Siapa saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, maka kalau sudah terjadi persetubuhan dengannya maka dia berhak menerima mahar lantaran persetujuan itu. (HR. Abu Daud dan At-Turmuzi)
Rasulallah melarang perkawinan antara laki-laki dengan perempuan yang sepersusuan, karena mereka dianggap senasab, dengan sabdanya:
إِنَّ اللهَ حَرَمَ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا حَرَمَ مِنَ النَّسَبِ   (متفق عليه)
Sesungguhnya Allah mengharamkan pernikahan karena sepersusuan sebagaimana halnya Allah telah mengharamkan karena senasab. (Mutafaq’alaih)
4.         Bayan Nasakh
            Ketiga bayan yang pertama yang telah diuraikan di atas disepakati oleh para ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga ada sedikit perbedaan yang terutama menyangkut definisinya saja.
            Untuk bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadis sebagai nasikh terhadap sebagian hukum Al-Qur’an dan ada juga yang menolaknya.
            Kata nasakh secara bahasa berarti ibthal (membatalkan), izalah (menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan taghyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan an-nasakh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam menta’rifkan. Termasuk perbedaan pendapat antara ulama mutaakhirin dengan ulama mutaqadimin. Menurut pendapat yang dipegang dari ulama mutaqadimin bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena telah berakhir masa berlakunya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan syari’ (pembuat syari’at) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya.[18]
            Jadi, intinya ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapus ketentuan yang datang terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya.
Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama ialah hadis yang berbunyi:
لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Tidak ada wasiat bagi ahli waris
Hadis ini menurut mereka menasakh isi firman Allah SWT:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$#                                                         
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah 180)








BAB III
PENUTUP

1.                  Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas maka penulis dapat menarik kesimpulan:
Bahwa hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW. baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia.
Dapat penulis simpulkan juga fungsi dan hubungan Hadis terhadap Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
a.             Bayan At-Taqrir: berungsi hanya memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an.
b.            Bayan At-Tafsir; berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal).
c.             Bayan At-Tasri’: berfungsi mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-Qur’an atau dalam Al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja.
d.            Bayan An-Nasakh: ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapus ketentuan yang datang terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya.

2.                  Saran 
               Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan pertolongan Allah dan bantuan teman-teman. semoga makalah ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Namun walaupun makalah ini selesai tentulah masih banyak kekurangan hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki, oleh karena itu kritik dan saran yang mengarah kepada perbaikan isi makalah ini sangat penulis harapkan.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       
       










DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis. (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
Solahudin, M. Agus dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis. (Bandung: Pustaka Setia, 2009)
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002)




[1] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm 13.
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 2.
[3] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Op. cit., hlm.15.
[4] Munzier Suparta, Op. cit. hlm 3.
[5] Ibid. hlm 3.
[6] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Op. cit., hlm.19.
[7] Ibid. Hlm 19.
[8] Ibid. Hlm 20.
[9] Munzier Suparta, Op. cit. hlm 18.
[10] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Op. cit., hlm.21.
[11] Ibid.  Hal 22.
[12] Ibid. Hlm 23.
[13] Ibid. Hlm 24.
[14] Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm 19.
[15] Munzier Suparta, Op. cit. hlm 58.
[16] Ibid. hlm 61.
[17] Ibid. hlm 64.
[18] Ibid. Hlm 65.