Pages

Senin, 26 September 2011

Kelasemen Pembalap



Pertama, tentu kita harus tahu dulu perhitungan poin untuk kategori rider, karena ini akan menjadi dasar perhitungan poin kategori tim dan konstruktor. Berikut adalah daftar posisi finish pembalap yang dipasangkan dengan poinnya.
Pos
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Poin
25
20
16
13
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
Khusus rider pengganti, poin yang diraihnya saat mengisi posisi rider lain tetap menjadi miliknya. Tapi untuk kelasemen tim, poinnya akan disumbangkan untuk tim yang dibelanya pada seri tersebut.
Sebagai contoh: Hiroshi Aoyama yang menggantikan Dani Pedrosa di seri Assen. Poin yang dihasilkan pada seri itu tetap menjadi miliknya, bukan untuk Pedrosa yang digantikan. Tetapi di kelasemen tim poinnya diberikan untuk Repsol Honda, bukan tim regulernya San Carlo Honda Gresini.
Kelasemen Tim
Untuk kelasemen tim, poin didapat dari hasil yang diraih oleh pembalap dari tim tersebut (ya iya lah… ). Jika satu tim hanya menurunkan satu rider ya berarti tim tersebut hanya mendapat poin dari sang rider tunggal. Jika tim menurunkan dua rider, poin tim adalah gabungan dari kedua poin pembalap di setiap seri.
Bagaimana jika satu tim lebih dari dua pembalap seperti tim Repsol Honda? Yang ini sedikit berbeda. Poin tim tetap dihitung dari hasil dua rider saja. Yang finish terbaik dan terburuk.
Contoh di seri Qatar. Casey Stoner juara, Dani Pedrosa finish ketiga dan Andrea Dovizioso keempat. Untuk kelasemen tim, poin Repsol Honda adalah poin yang diraih Stoner (rider Repsol finish terbaik/25 poin) ditambah poin Dovizioso (rider Repsol finish terburuk/13 poin). Jadi poin tim Repsol Honda di seri pertama adalah 38.
Bukan cuma itu, ada aturan tambahan lainnya. Jika salah satu rider DNF atau tidak ikut balap maka poin tim hanya diambil dari satu rider yang finih terbaik. Makanya ketika Pedrosa tidak finish di seri Le Mans lalu tim mengosongkan posisinya selama dua race berikutnya, poin tim Repsol Honda hanya diambil dari Stoner.
Kelasemen Konstruktor
Berbeda dengan kelasemen tim, untuk kategori constructor/manufactur, poin hanya dihitung berdasarkan poin terbaik rider dari konstruktor tersebut. Termasuk dari rider tim satelit. Seperti yang terjadi di seri Silverstone. Colin Edwards menyumbang poin untuk Yamaha.
Oh ya, konstruktor yang dimaksud adalah pemakai mesin dan chassis dari satu produsen yang sama. Jika kasusnya seperti di Moto2 dimana semua rider menggunakan mesin Honda, konstruktor ditentukan berdasarkan kesamaan produsen chassis.



MotoGP Semakin Tidak Menarik?

Minim aksi overtaking, lebih mirip iring-iringan motor prototype daripada balapan, juara seri sudah ketahuan bahkan sejak lap pertama. Intinya MotoGP makin hari makin tidak menarik untuk ditonton. Benarkah semua itu terjadi karena pembalap unggulan saat ini tak punya bakat “menghibur”?
Di masa lalu seorang Valentino Rossi bisa menyuguhkan atraksi yang banyak disukai oleh para penonton Grand Prix. Meski punya motor yang sangat kuat, Rossi nyaris tak pernah tampil ngotot sejak lap awal. Ia seolah membiarkan saja pembalap lain mendahuluinya.
Di pertengahan lomba barulah Rossi mulai menyusul satu persatu pembalap di depannya. Dan seringkali ia baru melancarkan aksi untuk menghabisi pimpinan lomba pada 5 lap terakhir.
Sekarang aksi seperti itu teramat sangat jarang terjadi. Casey Stoner, Dani Pedrosa dan juga Jorge Lorenzo plus Ben Spies meraih kemenangan dengan memimpin sendiri di depan dan nyaris tak terkejar oleh siapapun.
Karena itulah banyak yang mengkritik para pembalap unggulan saat ini -terutama Stoner- tak berani tampil fight. Benarkan demikian?
Secara mental, kemampuan bertarung jarak dekat rider seperti Stoner dan Pedrosa dan termasuk juga Lorenzo sepertinya memang belumlah sekuat Rossi. Rasa percaya diri mereka pun belumlah sebesar yang dimiliki The Doctor. Tetapi di luar itu ada faktor lain yang menyebabkan mereka berusaha secepat mungkin meninggalkan pembalap di belakangnya.
“Sekarang dengan motor 800cc, khususnya (dengan) ban Bridgestone dan (perangkat) elektronik, lebih sulit untuk menyalip, jika kita membandingkan dengan 500(cc) dan juga tahun-tahun pertama dari 990cc,” ungkap Rossi.
Mesin 800cc, ban tunggal Bridgestone dan berbagai piranti elektronik merupakan kombinasi “sempurna” yang bisa membuat aksi menyalip kini tidak semudah di era 500cc dan pada era awal 990cc. Motor-motor 800cc kini sangat kencang di tikungan sehingga aksi overtake jadi sangat sulit dilakukan.
“Karena waktu antara pengereman dan masuk tikungan jauh lebih kecil, maka waktu untuk menyalip menjadi kurang. Di masa lalu, terutama dengan 500, Anda punya 30-40 meter untuk menyalip. Anda juga bisa masuk tikungan sedikit lebih lambat. Jadi semuanya terjadi lebih lambat, Anda memiliki lebih banyak waktu dan lebih mudah untuk menyalip. Jika satu rider ada di belakang dan ingin menyalip, sepuluh tahun yang lalu itu lebih mudah. Sepanjang lap Anda memiliki empat atau lima tempat untuk menyalip. Sekarang mungkin maksimal satu atau dua” lanjut Rossi lagi.
Faktor ban juga menimbulkan polemik tersendiri. Dulu di era Michelin, para pembalap bisa lebih leluasa dalam memilih tipe ban karena pabrikan ban asal Prancis itu siap mebawa ban sebanyak mungkin dengan berbagai kompon yang spesifik untuk masing-masing pembalap dan masing-masing sirkuit.
Rossi kala itu cukup percaya diri bannya akan tahan hingga lap-lap terakhir. Bahkan seringkali ia mencetak fastest lap di putaran terakhir. Namun semenjak aturan pembatasan jumlah pemakain ban diberlakukan, Michelin keteteran dan akhirnya mundur dari MotoGP.
Dengan regulasi ban tunggal, pengembangan teknologi ban sepertinya agak kurang (aturan pembatasan jumlah ban dan regulasi single tyre supplier memang ditujukan untuk mengurangi biaya pengembangan ban). Hampir semua pembalap sempat mengkritik performa ban Bridgestone yang dinilai sangat kurang memuaskan. Contohnya ban kompon keras mereka dirasa butuh waktu lama untuk pemanasan namun sangat cepat mengalami degradasi. Oleh karenanya pembalap yang sudah tertinggal pada pertengahan race sangat sulit untuk meningkatkan kecepatan motornya guna mengejar pembalap di depan.
Dengan berbagai problema itu, yang terjadi kemudian para pembalap seperti berlomba-lomba untuk meninggalkan kerumunan sejak tikungan pertama selepas start. Hasil kualifikasi menjadi sangat penting karena kans untuk melepaskan diri sejak lap awal tentu semakain besar jika mengawali balapan dari grid terdepan.
Di samping itu, kesenjangan performa motor antar pabrikan di musim 2011 ini juga sangat jelas terlihat. 10 dari 14 seri yang sudah di gelar dimenangkan oleh rider Honda dan hanya 4 lainnya yang diraih rider Yamaha.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, kenapa empat rider Honda yang dipersenjatai RC212V pabrikan sangat jarang bisa tampil head to head seperti halnya yang terjadi antara Rossi dan Lorenzo saat masih sama-sama menunggang YZR-M1? Inikah tanda-tanda kembalinya era dominasi a la Mick Doohan?

Sabtu, 24 September 2011

KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

TINJAUAN UMUM TENTANG KEBIJAKAN PENDIDIKAN

a. Pengertian Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan mempunyai makna yang begitu luas dan bermacam-macam, sehingga perlu ditinjau dari berbagai macam sudut pandang.

1.Kebijakan pendidikan dalam kebijakan publik
Pada makalah ini dipahami makna tentang kebijakan pendidikan, yaitu kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik dan kebijakan pendidikan sebagai bagian dari kebijakan publik atau dalam kebijakan publik. Pada pembahasan disini, kebijakan pendidikan merupakan bagian dari kebijakan publik. Pemahaman ini dimulai dari ciri-ciri kebijakan publik secara umum.
Pertama, kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh Negara, yaitu berkenaan dengan lembaga ekskutif, legislatif, dan yudikatif.
Kedua, kebijakan publik adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik, dan bukan mengatur orang seorang atau golongan. [1]
Disini kebijakan publik dipahami sebagai keputusan-keputusan yang dibuat oleh intitusi Negara dalam rangka mencapai visi dan misi Negara.
Kebijakan pendidikan adalah kebijakan publik di bidang pendidikan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mark Olsen, Jhon Codd, dan Anne-Mari O’Neil, kebijakan pendidikan merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi, bagi Negara-bangsa dalam persaingan global, sehingga kebijakan perlu mendapatkan prioritas utama dalam ere-globalisasi. Salah satu argument utamanya adalah bahwa globalisasi membawa nilai demokrasi. Dmokrasi yang memberikan hasil adalah demokrasi yang didukung oleh pendidikan.[2]
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, kebijakan pendidikan dipahami sebagai bagian dari kebijakan publik, yaitu kebijakan public dibidang pendidikan. Maka kebijakan pendidikan merupakan kebijakan pendidikan yang ditujukan untuk mencapai tujuan pembangunan Negara-bangsa di bidang pendidikan, sebagai salah satu dari tujuan pembangunan Negara bangsa secara keseluruhan.

2. Kebijakan Pendidikan dan Gender
Masyarakat manusia secara tradisional didominasi oleh kekuasaan maskulin. kekuasaan maskulin itu diperkuat oleh berbagai mitos, tradisi untuk membordinasikan perempuan dalam struktur kehidupan bermasyarakat. Tidak mengherankan apabila terdapat banyak kebijakan termasuk kebijakan-kebijakan publik dan kebijakan pendidikan yang merugikan kaum perempuan. Bukankah manusia itu dilahirkan dari seorang perempuan, dan seorang ibu adalah seorang pendidik alamiah yang utama dan pertama oleh sebab itu, perempuan, ibu, secara genealogis merupakan salah satu dari stakeholder pendidikan alamiah disamping keluarga, masyarakat dan Negara.
Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional telah diberikan kesempatan yang sama kepada pria dan perempuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan.[3]

3. Kebijakan pendidikan menurut Carte V. Good (1959) menyatakan, Educational policy is judgment, derived from some system of values and some assessment of situational factors, operating within institutionalized education as a general plan for guiding decision regarding means of attaining desired educational objectives.
Pengertian pernyataan di atas adalah, bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai perencanaan umum untuk panduan dalam mengambil keputusan, agar tujuan pendidikan yang diinginkan bisa dicapai.[4]

4. Hough (1984) sebagaimana dikutip oleh Mudjia Rahardjo juga menegaskan sejumlah arti kebijakan. Kebijakan bias menunjuk pada seperangkat tujuan, rencana atau usulan, program-program, keputusan-keputusan, menghadirkan sejumlah pengaruh, serta undang-undang atau peraturan-peraturan.[5]

5. Kebijakan pendidikan berdasarkan hakikat pendidikan
Kebijakan pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkaan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu.[6]

b. Dasar dan Tujuan Kebijakan Pendidikan
Dasar kebijakan pendidikan ditinjau dari segi sosiologis adalah selain gambaran manusia sebagai makhluk sosial manusia adalah makhluk yang dapat dididik dan harus mendapatkan apabila proses pendidikan tersebut sesuai dengan hakikat manusia yang bebas.[7]
Kebebasan manusia mempunyai dua aspek yaitu kebebasan dari dan kebebasan untuk. Kebebasan bukanlah merupakan kebebasan yang absolut tanpa mengenal batasibatas tetapi kebebasan dari lingkungan kekuasaan.
Kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Untuk menentukan pilihan dalam merumuskan kebijakan dalam pendidikan, perlu pemahaman tentang pandangan-pandangan terhadap tujuan kebijakan, yaitu: (1) tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan masyarakat, (2) tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan politisi, dan (3) tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan ekonomi.

  1). Tujuan Kebijakan Dilihat dari Tingkatan Masyarakat
Tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan masyarakat, dapat ditelusuri dari hakekat tujuan pendidikan yang universal. Pendidikan pada awalnya adalah suatu proses penyempurnaan harkat dan martabat manusia yang diupayakan secara terus menerus. Di mana pun proses pendidikan terjadi, menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai nilai-nilai yang dalam, karena jika kita berbicara pendidikan pada hakekatnya membicarakan harkat dan martabat serta nilai-nilai kemanusiaan.[8]

  2). Tujuan Kebijakan Dilihat dari Tingkatan Politisi
Tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan politisi, dapat ditelusuri dari sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu peserta didik untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
Pada masyarakat pluralistik, tujuan pendidikan yang lebih praktis ternyata masih sangat bervariasi, yang mengakibatkan tidak adanya kesamaan bahasa dan terminologi terhadap tujuan-tujuan kebijakan pendidikan tidak kunjung selesai. Orang tua, masyarakat, dan pemerintah sama-sama mempunyai tangung jawab dalam pelaksanaan pendidikan. Akan tetapi, tatkala kebijakan penyelenggaraan pendidikan menjadi otoritas terpusat pada pemerintah pusat, sehingga praktek manajemen pendidikan pada level pusat, regional, lokal dan kelembagaan pun menjadi sarana pencapaian tujuan politik yang diarahkan pada reproduksi ideologi kelompok masyarakat yang dominan.[9]

3). Tujuan Kebijakan Dilihat dari Tingkatan Ekonomi
Tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan ekonom, dapat ditelusuri dari kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang, dengan alasan, bahwa:
Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis-praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif. Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan.
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang memasuki dunia kerja. Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil.[10]

c. Unsur-unsur Pokok Kebijakan Pendidikan
Kerangka analisis yang ditujukan pada proses kebijakan mencakup paling tidak mengandung empat unsur yang harus diperhatikan, yaitu: (1) unsur masalah; (2) tujuan; (3) cara kerja atau cara pemecahan masalah; dan (4) otoritas publik. Unsur masalah berkaitan dengan bidang-bidang garapan pemerintahan seperti pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kesehatan masyarakat, pengembangan wilayah, hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, perpajakan, kependudukan dan lain-lain; Unsur ini lebih dikenal dengan bidang ideologi, politik, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan; Unsur tujuan itu berkenaan dengan sasaran yang hendak dicapai melalui program-program yang telah ditetapkan oleh negara. Unsur cara kerja berkaitan dengan prosedur logis dan sistematis berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Unsur otoritas berkenaan dengan aparatur yang diberi kepercayaan untuk melakukan aktivitas pemerintahan.[11]
Aspek yang harus dikaji dalam analisis kebijakan pendidikan adalah konteks kebijakan. Ini harus dilakukan karena kebijakan tidak muncul dalam kehampaan, melainkan dikembangkan dalam konteks seperangkat nilai, tekanan, kendala, dan dalam pengaturan struktural tertentu. Kebijakan juga merupakan tanggapan terhadap masalah-masalah tertentu, kebutuhan serta aspirasi yang berkembang.
Aspek selanjutnya yang harus dikaji dalam analisis kebijakan pendidikan adalah pelaku kebijakan. Aktor kebijakan pendidikan bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu: para pelaku resmi dan pelaku tak resmi. Pelaku resmi kebijakan pendidikan adalah perorangan atau lembaga yang secara legal memiliki tanggungjawab berkenaan dengan pendidikan. Aktor tak resmi kebijakan pendidikan adalah individu atau organisasi yang terdiri dari kelompok kepentingan, partai politik, dan media.[12]
Selanjutnya, dalam memahami suatu proses kebijakan, terdapat aspek yang sangat penting yaitu implementasi kebijakan. Tolok ukur keberhasilan suatu kebijakan adalah pada tahap implementasi. Menurut Dunn (1994) seperti yang dikutip Yoyon Bahtiar Irianto, implementasi kebijakan lebih bersifat kegiatan praktis, termasuk di dalamnya mengeksekusi dan mengarahkan. Dengan demikian, implementasi kebijakan dapat disebut sebagai rangkaian kegiatan tindak lanjut setelah sebuah kebijakan ditetapkan, baik yang terdiri atas pengambilan keputusan, langkah-langkah yang stratejik, maupun operasional yang ditempuh guna mewujudkan suatu program atau kebijakan menjadi kenyataan, guna mencapai sasaran dari kebijakan yang telah ditetapkan tersebut. Tingkat keberhasilan proses ini akan dipengaruhi berbagai unsur, baik yang bersifat mendukung atau menghambat, serta lingkungan, baik fisik, sosial maupun budaya.
Berhasil atau tidaknya suatu kebijakan akan ditentukan oleh banyak faktor. misalnya, mengemukakan faktor-faktor tersebut antara lain: (1) kompleksitas kebijakan yang telah dirumuskan, (2) kejelasan rumusan masalah dan alternatif pemecahan masalah, (3) sumber-sumber potensial yang mendukung, (4) keahlian pelaksanaan kebijakan, (5) dukungan dari khalayak sasaran, (6) efektifitas dan efisiensi birokrasi. Keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan dapat dievaluasi kemampuannya secara nyata dalam mengoperasikan program-program yang telah dirancang sebelumnya. Sebaliknya proses implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur dan membandingkan antara hasil akhir program-program tersebut dengan tujuan-tujuan kebijakan.[13]

d. Langkah-langkah Umum Kebijakan Pendidikan
Prof. Hargaves dari London University menyatakan bahwa ilmu pendidikan mandeg dan tidak berkembang karena tidak mendapatkan input dari praktik pendidikan. Oleh sebab itu, ilmu pendidikan hanya berada pada tataran idealistik tanpa teruji dilapangan. Hakikat ilmu pendidikan berada dalam proses pendidikan yang terjadi dalam interaksi serta dialog antara pendidik dan peserta didik dalam masyarakat yang berbudaya. Keadaan ilmu pendidikan di Indonesia juga dalam status stagnasi karena terputus hubungannya dengan praktik pendidikan. Dengan sendirinya banyak kebijakan pendidikan di Indonesia bukan di tentukan oleh data dan informasi di lapangan, tetapi berdasarkan lamunan atau dengan menggunakan epistima-epistima ilmu lainnya yang tidak relevan dengan ilmu pendidikan yang terfokus kepada kebutuhan peserta didik.[14]
Kebijakan pendidikan yang berdasarkan fakta serta informasi telah mendapat input dari kebutuhan masyarakat. Selanjutnya, kebijakan pendidikan tersebut akan menentukan masalah-masalah yang perlu diteliti. Hasil riset yang telah divalidasi dapat disebarluaskan dalam berbagai eksperimen. Eksperimen pendidikan inilah yang akan dapat membuahkan kebijakan pendidikan yang telah tervalidasi. Demikian seterusnya terjadi suatu siklus yang berkesinambungan antara kebijakan pendidikan, praktik pendidikan, riset dan eksperimen.
Pelaksanaan serta evaluasi kebijakan pendidikan menuntut peranan aktif dari para pendidik professional karena dari merekalah dapat tersusun hasil-hasil kebijakan yang akan diriset serta mendeseminasikan kebijakan pendidikan yang ternyata didukung oleh fakta-fakta positif.
Kebijakan pendidikan yang benar yaitu bilamana kebijakan tersebut telah di-test kebenarannya di lapangan.[15] Kebijakan pendidikan dengan demikian akan tumbuh dari bawah meskipun kemungkinan kebijakan tersebut dirumuskan dan diinstruksikan dari atas. Dalam hal ini diperlukan kemampuan dari lembaga-lembaga pendidikan (sekolah) yang otonom untuk memvalidasi kebijakan-kebijakan pendidikan yang diinstruksikan dari pemerintah pusat atau pun pemerintah daerah. Kebijakan-kebijakan pendidikan berdasarkan instruksi dari atas tidak mempunyai akar di lapangan sehingga sukar untuk ditentukan keberhasilannya. Selain, kebijakan pendidikan yang tidak berakar tersebut akan melahirkan budaya ABS (Asal Bapak Senang) dengan laporan-laporan dari bawah yang menyatakan keberhasilan pelaksanaan kebijakan.
Dalam konteks implementasi kebijakan desentralisasi, Rondinellli & Cheema, memperkenalkan teori implementasi kebijakan yang orientasinya lebih menekankan kepada hubungan pengarih faktor-faktor implementasi kebijakan desentralisasi terhadap lembaga daerah di bidang perencanaan dan administrasi pembangunan. Menurut konsep tersebut, ada dua pendekatan dalam proses implementasi kebijakan yang sering dikacaukan:
Pertama, the compliance approach, yaitu yang menganggap implementasi itu tidak lebih dari soal teknik, rutin. Ini adalah suatu proses pelaksanaan yang tidak mengandung unsur-unsur politik yang perencanaannya sudah ditetapkan sebelumnya oleh para pimpinan politik (political leaders). Para administrator biasanya terdiri dari pegawai biasa yang tunduk kepada petunjuk dari para pemimpin politik tersebut.
Kedua, the political approach. Pendekatan yang kedua ini sering disebut sebagai pendekatan politik yang mengandung “administration as an intgral part of the policy making process in which polities are refined, reformulated, or even abandoned in the process of implementing them.”
Administrasi dan manajemen merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari proses penetapan kebijakan. Kebijakan dibuat karena tuntutan administrasi, dan pada saat kebijakan akan diimplementasikan di situlah manajemen berperan. Dimana kebijakan diubah, dirumuskan kembali, bahkan menjadi beban yang berat dalam proses implementasi. Jadi, membuat implementasi menjadi kompleks dan tidak bisa diperhitungkan (unpredictable).[16]
Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan belum mendapat perhatian yang serius di Indonesia, karena kebanyakan para perumus kebijakan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah lebih suka menggunakan pendekatan the compliance approach daripada the political approach. Mereka beranggapan apabila suatu kebijakan sudah ditetapkan dan sudah diumumkan menjadi suatu kebijakan publik serta-merta akan dapat diimplementasikan oleh para pegawai pelaksana secara teknis tanpa ada unsur-unsur atau kendala politik apapun, dan hasil yang diharapkan segera akan dicapai. Padahal, pada kenyataannya tidaklah demikian. [17]
Merujuk konsep-konsep seperti dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan di Indonesia menyangkut program dan kebijakan lainnya yang bukan hanya sekedar proses teknis dalam melaksanakan perencanaan yang sudah ditetapkan, melainkan merupakan suatu proses interaksi politik yang dinamis dan tidak dapat diperhitungkan. Beragam faktor politik, sosial, ekonomi, perilaku dan organisasi kesemuanya sangat mempengaruhi seberapa jauh kebijakan yang sudah ditetapkan dapat diimplementasikan sesuai dengan yang diharapkan, dan sampai seberapa jauh pula implementasi tersebut mencapai tujuan-tujuan dari kebijakan itu.
Di samping itu, analisis kebijakan pendidikan yang digunakan di Indonesia sepertinya lebih banyak menggunakan model analisis kebijakan politik-publik yang didasarkan pada asumsi-asumsi politis. Indikatornya dapat dikemukakan:
Pertama, ketidakjelasan dalam asumsi-asumsi yang digunakan terhadap permasalahan- permasalahan pendidikan. Kompleksitas dan heterogenitas jenis, sifat, dan situasi yang disebut sekolah selalu diidentikan dengan pendidikan. Sehingga tidak heran manakala membicarakan sistem pendidikan ternyata yang dibahas adalah sistem persekolahan; Menganalisis kebijakan pendidikan yang dianalisis ternyata kebijakan penyelenggaraan persekolahan. Akibatnya, paradigma pendidikan yang universal dipandang secara sempit, dan lebih banyak adaptif daripada inisiatif.
Kedua, dalam melakukan analisis kebijakan pendidikan kurang kontekstual sebagai suatu kebijakan yang utuh dan terintegrasi secara empirical, evaluative, normative, predictive. Sebagai suatu produk, kebijakan pendidikan tidak diformulasikan berdasarkan elemen-elemen yang perlu diintegrasikan secara “sinergy”, bukan sebagai komponen yang “terdikotomi”. Artinya, apakah rumusan-rumusan kebijakan tersebut telah memenuhi kriteria kebijakan yang utuh atau masih ada butir-butir yang lepas dari ruang lingkupnya.




DAFTAR PUSTAKA


Abdul Wahab, Solichin. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990).
Irianto, Yoyon Bahtiar, Kebijakan Pendidikan Dalam Konteks Desentralisasi Pembangunan Manusia, PDF. Hlm 30.
Nawawi, Hadari dan Mimi Martini, Kebijakan Pendidikan di Indonesia, ditinjau dari sudut Hukum, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press 1994).
Raharjo, Mudjia, Pemikiran Kebijakan Pendidikan Kontemporer, (Malang: UIN Maliki Press, 2010).
Tilaar , H.A.R. & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan, Pengantar untuk memahami kbijakan pendidikan dan kebijakan pndidikan sebagai kebijakan publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),








[1] H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan, Pengantar untuk memahami kbijakan pendidikan dan kebijakan pndidikan sebagai kebijakan publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm 264.
[2] H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan, hlm 267.
[3] H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan, hlm 167.
[5] Mudjia Raharjo, Pemikiran Kebijakan Pendidikan Kontemporer, (Malang: UIN Maliki Press, 2010). Hlm 3.
[6] H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan, hlm 140.
[7] H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan,
[8] Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan Pendidikan Dalam Konteks Desentralisasi Pembangunan Manusia, PDF. Hlm 30.
[9] Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan Pendidikan Dalam Konteks Desentralisasi Pembangunan Manusia, PDF. Hlm 31.
[10] Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan Pendidikan Dalam Konteks Desentralisasi Pembangunan Manusia, PDF. Hlm 31.
[11] Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan Pendidikan Dalam Konteks Desentralisasi Pembangunan Manusia, PDF. Hlm 23.
[12] Mudjia Raharjo, Pemikiran Kebijakan Pendidikan Kontemporer, (Malang: UIN Maliki Press, 2010). Hlm 5.
[13] Solichin, Abdul Wahab, Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Rineka Cipta: 1990)
[14] H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan, hlm 179.
[15] H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan, hlm 181.
[16] Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan Pendidikan Dalam Konteks Desentralisasi Pembangunan Manusia, PDF. Hlm 24-25.
[17] Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan Pendidikan Dalam Konteks Desentralisasi Pembangunan Manusia, PDF. Hlm 25.

Sistem Pndidikan Islam pada Zaman Penjajah Jepang

BAB I
PENDAHULUAN

A.                  Latar Belakang Masalah
Dengan mempelajari sejarah pendidikan Islam di Indonesia, kita dapat mengetahui pertumbuhan dan perkembangan umat islam, baik dilihat dari sebab-sebab kemunduran, maupun sebab terang benderangnya pendidikan dan ajaran Islam di bumi Nusantara ini.
Makalah ini mencoba mengungkapkan perjalanan pendidikan Islam di Indonesia pada masa penjajahan Jepang melalui berbagai rentetan sejarah yang pernah dialaminya.
Jepang muncul sebagai Negara kuat di Asia. Bangsa jepang bercita-cita menjadi pemimpin Asia Timur Raya, dan hal ini sudah direncanakan Jepang sejak tahun 1940 untuk mendirikan kemakmuran bersama Asia Raya. Menurut rencana tersebut Jepang ingin menjadi pusat suatu lingkungan yang berpengaruh atas daerah-daerah Mansyuria, Daratan Cina, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo Cina dan Rusia.
Kedatangan Jepang ke Indonesia ada satu hal istimewa dalam dunia pendidikan yaitu sekolah-sekolah telah diseragamkan dan dinegrikan meskipun sekolah-sekolah swasta lain, diizinkan terus berkembang dengan pengaturan dan diselenggarakan oleh penduduk jepang. Pembedaan pelayanan pendidikan didasarkan pada bangsa dan status sosial dihapus.
B.                 Rumusan Masalah
Objek pembahasan dalam makalah ini dijabarkan melalui Rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Sejarah Singkat Masuknya Jepang ke Indonesia
2.      Perkembangan Pendidikan dan Pengajaran
3.      Pertumbuhan dan Perkembangan Madrasah

C.                Tujuan Penyusunan Makalah
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Sosial Pendidikan Islam program Pascasarjana IAIT Kediri. Dan untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan.




BAB II
PEMBAHASAN

A.                Sejarah Singkat Masuknya Jepang ke Indonesia
Bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe sebagai Perdana Menteri Jepang. Sebenarnya, sampai akhir tahun 1940, pimpinan militer Jepang tidak menghendaki melawan beberapa negara sekaligus, namun sejak pertengahan tahun 1941 mereka melihat, bahwa Amerika Serikat, Inggris dan Belanda harus dihadapi sekaligus, apabila mereka ingin menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara. Apalagi setelah Amerika melancarkan embargo minyak bumi, yang sangat mereka butuhkan, baik untuk industri di Jepang, maupun untuk keperluan perang.
Admiral Isoroku Yamamoto, Panglima Angkatan Laut Jepang, mengembangkan strategi perang yang sangat berani, yaitu mengerahkan seluruh kekuatan armadanya untuk dua operasi besar. Seluruh potensi Angkatan Laut Jepang mencakup 6 kapal induk (pengangkut pesawat tempur), 10 kapal perang, 18 kapal penjelajah berat, 20 kapal penjelajah ringan, 4 kapal pengangkut perlengkapan, 112 kapal perusak, 65 kapal selam serta 2.274 pesawat tempur. Kekuatan pertama, yaitu 6 kapal induk, 2 kapal perang, 11 kapal perusak serta lebih dari 1.400 pesawat tempur, tanggal 7 Desember 1941, akan menyerang secara mendadak basis Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor di kepulauan Hawaii. Sedangkan kekuatan kedua, sisa kekuatan Angkatan Laut yang mereka miliki, mendukung Angkatan Darat dalam Operasi Selatan, yaitu penyerangan atas Filipina dan Malaya/Singapura, yang akan dilanjutkan ke Jawa. Kekuatan yang dikerahkan ke Asia Tenggara adalah 11 Divisi Infantri yang didukung oleh 7 resimen tank serta 795 pesawat tempur. Seluruh operasi direncanakan selesai dalam 150 hari. Admiral Chuichi Nagumo memimpin armada yang ditugaskan menyerang Pearl Harbor.
Hari minggu pagi tanggal 7 Desember 1941, 360 pesawat terbang yang terdiri dari pembom pembawa torpedo serta sejumlah pesawat tempur diberangkatkan dalam dua gelombang. Pengeboman Pearl Harbor ini berhasil menenggelamkan dua kapal perang besar serta merusak 6 kapal perang lain. Selain itu pemboman Jepang tesebut juga menghancurkan 180 pesawat tempur Amerika. Lebih dari 2.330 serdadu Amerika tewas dan lebih dari 1.140 lainnya luka-luka. Namun tiga kapal induk Amerika selamat, karena pada saat itu tidak berada di Pearl Harbor. Tanggal 8 Desember 1941, Kongres Amerika Serikat menyatakan perang terhadap Jepang.
Perang Pasifik ini berpengaruh besar terhadap gerakan kemerdekaan negara-negara di Asia Timur, termasuk Indonesia. Tujuan Jepang menyerang dan menduduki Hindia-Belanda adalah untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama minyak bumi, guna mendukung potensi perang Jepang serta mendukung industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi seluruh operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatera sebagai sumber minyak utama.[1]
Kejayaan penjajah Belanda lenyap setelah Jepang berada di Indonesia. Mereka bertekuk lutut tanpa syarat kepada Jepang. Tujuan Jepang ke Indonesia ialah menjadikan Indonesia sebagai sumber bahan mentah dan tenaga manusia yang sangat besar artinya bagi kelangsungan perang Pasifik. Hal ini sesuai dengan cita-cita politik ekspansinya.
 Untuk mengetahui maksud dan tujuannya yang fasistis itu (bersifat memeras), maka ditanamkan ideologi baru, yakni ideologi Hakko Ichiu atau ideologi kemakmuran bersama di Asia Timur Raya.[2] Tanpa malu-malu Jepang menegaskan, bahwa mereka berjuang mati-matian, melakukan perang suci untuk kepentingan bangsa-bangsa di Asia Timur. Untuk ini dikerahkan barisan propaganda Jepang, disertai dengan pelaksanaan sistem kabaktian rakyat, untuk memeras bangsa kita. Meskipun demikian, keinginan dan semangat rakyat tetap bergelora untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah, seperti terbukti dari proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 yang kita tebus dengan perjuangan dan pengorbanan.


B.                  Perkembangan Pendidikan dan Pengajaran
a.                  Pendidikan pada zaman Jepang dilaksanakan atas dasar idiil Hakko-Ichi-U. hal ini mengandung arti bahwa pendidikan adalah alat untuk mencapai Lingkungan kemakmuran bersama Asia Timur Raya, yang dalam arti dekat membantu memenangkan perang Asia Timur. Oleh karena itu secara praktisnya, pendidikan prajurit yang siap membantu memenangkan peperangan bagi Jepang.[3]
b.                  Usaha penanaman ideologi Hakko Ichu melalui sekolah-sekolah dimulai dengan mengadakan pelatihan guru-guru. Guru-guru dibebani tugas sebagai penyebar ideologi baru tersebut. Pelatihat trsbut dipusatkan di Jakarta. Setiap Kabupaten diwajibkan mengirimkan wakilnya untuk mendapatkan gemblengan langsung dari pimpinan jepang. Gembelan ini berlangsung selama 3 bulan, jangka waktu tersebut dirasa cukup menjepangkan para guru.[4]
c.                  Bahasa Indonesia dijadikan bahasa pengantar resmi baik kantor maupun sekolah. Pemakaian bahasa Belanda dilarang sama sekali. Bahasa Jepang menjadi bahasa kedua, dan diajarkan di sekolah.[5]
d.                 Penyelenggaraan pendidikan zaman penjajahan Jepang banyak mengalami perubahan-perubahan. Pembedaan pelayanan pendidikan didasarkan pada bangsa dan status sosial dihapus. Dualistis-diskriminatif dalam sistem pendidikan dihilangkan, dengan demikian terjadi pengintegrasian terhadap macam-macam sekolah sejenis. Sejak zaman Jepang bahasa Indonsia dan istilah-istilah Indonesia dipergunakan di sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan.[6]
e.                  Jenis persekolahan
Sekolah-sekolah yang ada pada zaman penjajahan Jepang, yaitu:
1)      Sekolah rendah atau Lagere Oriderwijs diganti menjadi Sekolah Rakyat (Kokumi Gakho), yang terbuka bagi semua golongan penduduk dengan lama pendidikan enam tahun.
2)      Sekolah Menengah Pertama (Shoto Chu Gakho)
Sekolah Menengah Tinggi (Koto Chu Gakho)
Sekolah Pertukangan (Kogyo Gakho)
Sekolah Teknik Menengah (Kogyo Semmon Gakho)
Sekolah Hukuk dan mosvia dihapuskan, sebaliknya didirikan Sekolah Pelajaran dan Sekolah Pelayanan Tinggi.
f.                   Sistem Persekolahan
Terdiri atas tiga tingkatan atau jenjang, yaitu:
1)      Pendidikan Dasar 6 tahun
2)      Pendidikan Menengah 6 tahun
3)      Pendidikan Tinggi.[7]
Isi pengajaran:
1.                  Pengajaran dipergunakan sebagai alat propaganda dan juga untuk kepentingan perang. Murid-murid seringkali diharuskan kerja bakti, misalnya: membersihkan bengkel, asrama, membuat bahan-bahan untuk kepentingan pertahanan, dan sebagainya.
2.                  Untuk melipatgandakan hasil bumi, murid-murid diharuskan membuat pupuk kompos atau beramai-ramai membasmi hama tikus di sawah. Sebagian waktu belajar digunakan untuk menanami halaman sekolah dan pinggir-pinggir jalan dengan tanaman jeruk.
3.                  Pelatihan-pelatihan jasmani berupa pelatihan kemiliteran dan mengisi aktivitas-aktivitas murid-murid sehari-hari. Agar berjalan lancer, pada tiap-tiap sekolah dibentuk barisan-barisan murid. Barisan murid-murid SD disebut Seinen-tai, sedangkan barisan murid-murid sekolah lanjutan disebut Gokutotai.
4.                  Untuk menanamkan semangat jepang, tiap hari murid-murid harus mengucapkan sumpah pelajar dalam bahasa Jepang. Mereka harus menguasai bahasa dan nyanyian Jepang. Tiap-tiap pagi diadakan upacara, dengan menyembah Jepang dan menghormati istana Tokyo.
5.                  Agar bahasa Jepang lebih popular, diadakan ujian bahasa Jpang untuk para guru dan pegawai-pegawai, yang dibagi atas 5 tingkat. Pemilik ijazah ini mendapat tanbahan upah.[8]
Kebijaksanaan yang diambil oleh Dai Nippon dalam mendekati umat Islam Indonesia antara lain adalah:
1.                  Mengangkat Dr. Hamka, reformis Minangkabau yang baru dibebaskan oleh penjajah Belanda dari pembuangan di Jawa Barat, untuk menjadi penasihat Sumubu. Dr. Hamka adalah orang bumiputra yang tanpa takut-takut membeberkan bahwa tidak mungkin menyatukan ajaran Shinto yang mengharuskan menyembah Kaisar dan matahari terbit dengan Islam yang monotheisme. Pemerintah Nippon tidak berani menangkap Dr. Hamka, karena beliau adalah ulama yang memiliki pengaruh cukup besar pada masyarakat Islam pada waktu itu.[9]
2.                  Kantor Urusan Agama pada zaman Belanda disebut: Kantoor Voor Islamistische Saken yang dipimpin oleh orang-orang Orientalisten Belanda, diubah Jepang menjadi Kantor Sumubi yang dipimpin oleh Ulama Islam sendiri yaitu K.H. Hasyim Asy’ari dari Jombang dan di daerah-daerah dibentuk Sumuka.[10]
3.                  Pondok pesantren yang besar-besar sering mendapatkan kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar Jepang.
4.                  Sekolah negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama.
5.                  Di samping itu pmerintahan Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah untuk memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam. Barisan ini dipimpin oleh K.H. Zainal Arifin.
6.                  Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh K.H. Wahid Hasyim, Kahar Mudzakir dan Bung Hatta.
7.                  Para ulama Islam bekerja sama dengan pmimpin-pemimpin nasionalis diizinkan membentuk barisan Pembela Tanah Air (Peta). Tokoh-tokoh santri dan pemuda Islam ikut dalam latihan kader militer itu, antara lain: Sudirman, Abd.Khaliq Hasyim, Iskandar Sulaiman, Yusuf Anis, Aruji Kartawinata, Kasman Singodimejo, Mulyadi Joyomartono, Wahib Wahab, Sarbini Saiful Islam dan lain-lain. Tentara Pembela Tanah Air inilah yang menjadi inti dari TNI sekarang.
8.                  Umat Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut; Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan.[11]
Maksud dari pemerintah Jepang adalah supaya kekuatan umat Islam dan nasionalis dapat dibina untuk kepentingan perang Asia Timur Raya yang dipimpin oleh Jepang.
Perang Dunia ke II menghebat dan tekanan pihak sekutu kepada Jepang makin berat. Beberapa tahun menjelang berakhirnya perang itu tampak semakin jelas betapa beratnya Jepang menghadapi musuh dari luar dan oposisi dari rakyat Indonesia sendiri. Dari segi militer dan sosial politik di Indonesia Jepang menampakkan diri sebagai penjajah yang sewenang-wenang dan lebih kasar daripada penjajah Belanda. Kekayaan bumi Indonesia dikumpulkan secara paksa untuk membiayai perang Asia Timur Raya, sehingga rakyat menderita kelaparan dan hamper telanjang karena kekurangan pakaian. Di samping itu rakyat dikerahkan kerja keras (romusha) untuk kepentingan perang.
Jepang membentuk badan-badan pertahanan rakyat seperti Haihoo, Peta, Keibodan, Seinan dan lain sebagainya, sehingga penderitaan rakyat lahir dan batin makin tak tertahankan lagi. Maka timbullah pemberontakan-pemberontakan baik dari golongan Peta di Blitar Jawa Timur dan lain-lain maupun oposisi dari para alim ulama. Banyak kyai yang ditangkap dan dipenjarakan oleh Jepang.
Dunia pendidikan secara umum terbengkalai, karena murid-murid sekolah setiap hari hanya disuruh gerak badan, baris berbaris, bekerja bakti (romusha), bernyanyi dan lain sebagainya. Yang masih agak beruntung adalah madrasah-madrasah yang berada dalam lingkungan pondok pesantren yang bebasa dari pengawasan langsung pemerintah Jepang. Pendidikan dalam pondok psantren masih dapat berjalan dengan agak wajar.[12]
Pada tanggal 7 Agustus, penguasa tertinggi wilayah Selatan Jepang mengambil inisiatif dari tangan penguasa Jakarta dengan membuat Dekrit didirikannya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang baru. Ketika panitia tersebut bersidang, Jepang telah menandatangani perjanjian menyerah kalah dengan pihak sekutu. Sepuluh hari setelah izin diberikan kepada Panitia Persiapan, lahirlah Republik Indonesia, setelah berabad-abad melawan pemerintah Kafir, akhirnya bangsa Indonesia terlepas dari belenggu yang sangat menyakitkan itu.[13]

C.                Pertumbuhan dan Perkembangan Madrasah
Pada masa pendudukan Jepang, ada satu hal istimewa dalam dunia pendidikan sebagaimana telah dikemukakan, yaitu sekolah-sekolah telah diseragamkan dan dinegrikan meskipun sekolah-sekolah swasta lain, seperti Muhammadiyah, Taman Siswa dan lain-lain diizinkan terus berkembang dengan pengaturan dan diselenggarakan oleh penduduk jepang.[14]
Sementara itu, khususnya pada masa awal-awalnya, madrasah dibangun dengan gencar-gencarnya selagi ada angin segar yang diberikan oleh jepang. Walaupun lebih bersifat politis belaka, kesempatan itu tidak disia-siakan begitu saja dan umat Islam Indonesia memanfaatkan dengan sebaik-baikinya. Ini tampak di sumatera dengan berdirinya madrasah Awaliyahnya, yang diilhami oleh Majelis Islam Tinggi.
Hampir seluruh pelosok pedesaan terdapat madrasah Awaliyah yang dikunjungi banyak anak laki-laki dan perempuan. Madrasah Awaliyah ini ditiadakan pada sore hari dengan waktu kurang satu setengah jam. Materi yang diajarkan ialah belajar membaca Al-Qur’an, ibadah, akhlak dan keimanan sebagai pelatihan pelajaran agama yang dilakukan di sekolah rakyat pagi hari.
Oleh karena itu, meskipun dunia pendidikan secara umum terbengkalai, karena murid-muridnya setiap hari hanya disuruh gerak badan, baris berbaris, bekerja bakti (romusha), bernyanyi dan sebagainya, madrasah-madrasah yang berada di dalam lingkunagn pondok pesantren bebas dari pengawasan langsung pemerintah penduduk Jepang.[15]



DAFTAR PUSTAKA

Mustafa, Drs. H. A.  dan Abdullah Aly, Drs., Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (SPII), (Bandung: Pustaka Setia, 1999).
Raharjo, Redja Mujia, Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001).
Rukiati , Dra, Enung K & Dra, Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2006).
Zuhairini, Drs, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara 2008).
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara_%281942-1945%29. Di akses hari Jum’at 09 September 2011.



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara_%281942-1945%29. Di akses hari Jum’at 09 September 2011.
[2] A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (SPII), (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm 97.
[3] Redja Mujia Raharjo, Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm 268.
[4] A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Hlm 97.
[5] Redja Mujia Raharjo, Pengantar Pendidikan, hlm 269.
[6] Redja Mujia Raharjo, Pengantar Pendidikan, hlm 269.
[7] Redja Mujia Raharjo, Pengantar Pendidikan, hlm 270.
[8] A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Hlm 99.
[9] A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Hlm 99.
[10] Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara 2008) hlm 151.
[11] Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, hlm 151.
[12] Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, hlm 152.
[13] A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Hlm 103.
[14] Enung K Rukiati & Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2006) hlm 65.
[15] A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Hlm 110.