Pages

Sabtu, 23 April 2011

TASAWUF DAN PERKEMBANGANNYA DALAM ISLAM

TASAWUF DAN PERKEMBANGANNYA DALAM ISLAM

1. Penelitian dan Pengkajian Taswuf
Pertama, memahami dan mengkaji kitabkitab yang merupakan sumber baku dari suatu agama, dan merupakan sumber statistiknya. Kedua, mengkaji hasil-hasil ijtihad para ulama yang merupakan sumber dinamika dalam pengembangan ajaran suatu agama. Sedangkan yang ketiga oleh para ahli-ahli ilmu sosial disebut fenomena keagamaan. Yakni perilaku dan pola-polakhidupan umat beragama yang nyata-nyata hidup dan berada ditengah-tengah masyarakat manusia.
Metode dan pendekatan
Mengenai masalah metode kiranya cukup mempergunakan metode penelitian ilmu-ilmu sosial, terutama analisis kesejarahan dan pendekatan fenemologi (verstehen) yang cukup bagus untuk penelitian tasawuf dan agama pada umumnya. Pendekatan verstehen yang berusaha untuk mengerti sesuai keadaan obyek bisa diterapkan dalam penelitian tasawuf.
Adapun mengenai segi pendekatan untuk memahami fenomna-fenomena keagamaan. Pendekatan dari sudut agama disamping menjawab masalah ilmiah, yakni apa atau bagaimana dan mengapa terjadi demikian, harus dilanjutkan pada persoalan ketiga yaitu masalah seberapa jauh hal itu bisa menunjang atau menghambat ketegaran perkembangan budaya agama dan alam pikiran umat islam.
Persyaratan Peneliti Tasawuf
Peneliti tasawuf umumnya mempergunakan studi kasus dan mempergunakan pendekatan fenomologis atau verstehen. Jadi, grounded riset. Maka syarat mutlak bagi para peneliti harus menguasai persoalan-persoalan tasawuf yang cukup lumayan.
Adapun syarat kedua adalah peneliti harus punya pandangan yang terang tentang apa tasawuf itu dan bagaimana kaitannya dengan ajaran islam.





2. Tasawuf dan Munculnya Dalam Islam
Perkembangan baru yang mulai mewarnai perubahan pemikiran dan pemahaman tentang agama ini dirangsang oleh perselisihan dalam masalah-masalah politik (tentang pengangkatan khalifah) yang kemudian mencari legalitas dengan dalil-dalil agama. Akibat dari perselisihan dalam bidang politik ini umat islam mulai terkoyak jadi beberapa sekte. Ada tiga pola pikir tradisi lama yang mulai mendominasi pemahaman agama yang menimbulkan perpecahan. Yaitu ambisi kesukuan mu’awiyah yang meneruskan cita-cita ayahnya abu sufyan untuk merebut kekuasaan dan mendirikan sistem pemerintahan kerajaan bagi dinasti Umaiyah. Cita ini bisa mereka capai dngan mengorganisasi pemberontakan terhadap kekuasaan Khalifah Ali bin Abi Talib. Pemberontakan ini berhasil memancing perpecahan dua sayap kstrem dari pendukung kekhalifahan Ali jadi dua sekte yang saling bermusuhan. Yaitu sekte Khawarij dan sekte Syi’ah. Syi’ah mengembangkan pola tradisi lama suku-suku arab selatan yang telah sejak lama mendewa-dewakan pemimpin dan raja mereka. Ali mereka katakan sebagai orang satu-satunya yang telah ditunjuk langsung oleh Nabi sebagai pengganti untuk memimpin ummat islam baik dalam urusan sosial politik ataupun agama. Hak ini kemudian jadi hak istimewa bagi keturunan Ali Bin Abi Talib. Jadi Syi’ah mengembangkan kepemimpinan atas dasar kharismatik keagamaan dengan konsep ‘ismatul a’immah (imam-imam yang maksum, terjaga dari kesalahan dan dosa).
Adapun sekte Khawaij mengembangkan pola pikir tradisional suku-suku baduwi di arab bagian tengah, terbiasa berpikir sederhana, keras dan fanatik, memutlakkan pendapat mereka. Dalam paham agama, mereka memahami secara sempit dan sepotong-potong (parsial) dan keras, shingga mereka tidak segan-segan menilai orang yang tidak sepaham sebagai kafir bahkan musyrik, serta wajib dibunuh dan diperanginya.
Adapun golongan Banu Umaiyah yang kemudian jadi pnguasa tunggal setelah terbunuhnya Kalifah Ali, menganut pola pikir leluhur mereka Abu Sufyan berpaham politik sentris. Mu’awiyah selaku pucuk pimpinan keluarga Banu Umaiyah mengembangkan sistem dinastiisme. Mengubah sistem ajaran yang memandang jabatan-jabatan kenegaraan sebagai medan ibadah dan pengabdian bagi kejayaan agama dan umat, menjadi sistem kerajaan turun temurun, memandang jabatan-jabatan kenegaraan sebagai kamukten bagi diri dan keluarga serta keturunan-keturunan mereka. Oleh karena itu mereka mereka membenarkan segala jalan dan cara untuk mempertahankan kekuasaan dan kedudukan mereka.

3. Tarekat
Tingkat-tingkat pendakian rohani atau kejiwaan ini mereka namakan maqamat atau stations atau stages. Jalan yang mereka tempuh mereka namakan Thariqah. Sedangkan tujuan akhirnya adalah mencapai penghayatan fana’ fi ‘llah. Yaitu kesadaran leburnya diri mreka dalam samudera ilahi. Tarekat atau jalan tasawuf ini begitu penting hingga ilmu tasawuf itu sering dinamakan ilmu suluk.
Tarekat (thariqah) itu pada dasarnya tak terbatas jumlahnya, karena setiap manusia semestinya harus mencapai dan merintis jalannya sendiri, sesuai dengan bakat dan kemampuan ataupun taraf kebersihan hati mereka masing-masing. Walaupun jalan menuju Allah beraneka ragam, tak ada hingganya, namun sepertitelah disinggung oleh al-Ghazali terdiri dari tiga langkah yaitu penyucian hati (via purgative), konsentrasi zikir pada Allah (via kontemplate), dan fana’ fi ‘llah (kasyaf, via illuminativa).