Pages

Senin, 26 September 2011

Kelasemen Pembalap



Pertama, tentu kita harus tahu dulu perhitungan poin untuk kategori rider, karena ini akan menjadi dasar perhitungan poin kategori tim dan konstruktor. Berikut adalah daftar posisi finish pembalap yang dipasangkan dengan poinnya.
Pos
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Poin
25
20
16
13
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
Khusus rider pengganti, poin yang diraihnya saat mengisi posisi rider lain tetap menjadi miliknya. Tapi untuk kelasemen tim, poinnya akan disumbangkan untuk tim yang dibelanya pada seri tersebut.
Sebagai contoh: Hiroshi Aoyama yang menggantikan Dani Pedrosa di seri Assen. Poin yang dihasilkan pada seri itu tetap menjadi miliknya, bukan untuk Pedrosa yang digantikan. Tetapi di kelasemen tim poinnya diberikan untuk Repsol Honda, bukan tim regulernya San Carlo Honda Gresini.
Kelasemen Tim
Untuk kelasemen tim, poin didapat dari hasil yang diraih oleh pembalap dari tim tersebut (ya iya lah… ). Jika satu tim hanya menurunkan satu rider ya berarti tim tersebut hanya mendapat poin dari sang rider tunggal. Jika tim menurunkan dua rider, poin tim adalah gabungan dari kedua poin pembalap di setiap seri.
Bagaimana jika satu tim lebih dari dua pembalap seperti tim Repsol Honda? Yang ini sedikit berbeda. Poin tim tetap dihitung dari hasil dua rider saja. Yang finish terbaik dan terburuk.
Contoh di seri Qatar. Casey Stoner juara, Dani Pedrosa finish ketiga dan Andrea Dovizioso keempat. Untuk kelasemen tim, poin Repsol Honda adalah poin yang diraih Stoner (rider Repsol finish terbaik/25 poin) ditambah poin Dovizioso (rider Repsol finish terburuk/13 poin). Jadi poin tim Repsol Honda di seri pertama adalah 38.
Bukan cuma itu, ada aturan tambahan lainnya. Jika salah satu rider DNF atau tidak ikut balap maka poin tim hanya diambil dari satu rider yang finih terbaik. Makanya ketika Pedrosa tidak finish di seri Le Mans lalu tim mengosongkan posisinya selama dua race berikutnya, poin tim Repsol Honda hanya diambil dari Stoner.
Kelasemen Konstruktor
Berbeda dengan kelasemen tim, untuk kategori constructor/manufactur, poin hanya dihitung berdasarkan poin terbaik rider dari konstruktor tersebut. Termasuk dari rider tim satelit. Seperti yang terjadi di seri Silverstone. Colin Edwards menyumbang poin untuk Yamaha.
Oh ya, konstruktor yang dimaksud adalah pemakai mesin dan chassis dari satu produsen yang sama. Jika kasusnya seperti di Moto2 dimana semua rider menggunakan mesin Honda, konstruktor ditentukan berdasarkan kesamaan produsen chassis.



MotoGP Semakin Tidak Menarik?

Minim aksi overtaking, lebih mirip iring-iringan motor prototype daripada balapan, juara seri sudah ketahuan bahkan sejak lap pertama. Intinya MotoGP makin hari makin tidak menarik untuk ditonton. Benarkah semua itu terjadi karena pembalap unggulan saat ini tak punya bakat “menghibur”?
Di masa lalu seorang Valentino Rossi bisa menyuguhkan atraksi yang banyak disukai oleh para penonton Grand Prix. Meski punya motor yang sangat kuat, Rossi nyaris tak pernah tampil ngotot sejak lap awal. Ia seolah membiarkan saja pembalap lain mendahuluinya.
Di pertengahan lomba barulah Rossi mulai menyusul satu persatu pembalap di depannya. Dan seringkali ia baru melancarkan aksi untuk menghabisi pimpinan lomba pada 5 lap terakhir.
Sekarang aksi seperti itu teramat sangat jarang terjadi. Casey Stoner, Dani Pedrosa dan juga Jorge Lorenzo plus Ben Spies meraih kemenangan dengan memimpin sendiri di depan dan nyaris tak terkejar oleh siapapun.
Karena itulah banyak yang mengkritik para pembalap unggulan saat ini -terutama Stoner- tak berani tampil fight. Benarkan demikian?
Secara mental, kemampuan bertarung jarak dekat rider seperti Stoner dan Pedrosa dan termasuk juga Lorenzo sepertinya memang belumlah sekuat Rossi. Rasa percaya diri mereka pun belumlah sebesar yang dimiliki The Doctor. Tetapi di luar itu ada faktor lain yang menyebabkan mereka berusaha secepat mungkin meninggalkan pembalap di belakangnya.
“Sekarang dengan motor 800cc, khususnya (dengan) ban Bridgestone dan (perangkat) elektronik, lebih sulit untuk menyalip, jika kita membandingkan dengan 500(cc) dan juga tahun-tahun pertama dari 990cc,” ungkap Rossi.
Mesin 800cc, ban tunggal Bridgestone dan berbagai piranti elektronik merupakan kombinasi “sempurna” yang bisa membuat aksi menyalip kini tidak semudah di era 500cc dan pada era awal 990cc. Motor-motor 800cc kini sangat kencang di tikungan sehingga aksi overtake jadi sangat sulit dilakukan.
“Karena waktu antara pengereman dan masuk tikungan jauh lebih kecil, maka waktu untuk menyalip menjadi kurang. Di masa lalu, terutama dengan 500, Anda punya 30-40 meter untuk menyalip. Anda juga bisa masuk tikungan sedikit lebih lambat. Jadi semuanya terjadi lebih lambat, Anda memiliki lebih banyak waktu dan lebih mudah untuk menyalip. Jika satu rider ada di belakang dan ingin menyalip, sepuluh tahun yang lalu itu lebih mudah. Sepanjang lap Anda memiliki empat atau lima tempat untuk menyalip. Sekarang mungkin maksimal satu atau dua” lanjut Rossi lagi.
Faktor ban juga menimbulkan polemik tersendiri. Dulu di era Michelin, para pembalap bisa lebih leluasa dalam memilih tipe ban karena pabrikan ban asal Prancis itu siap mebawa ban sebanyak mungkin dengan berbagai kompon yang spesifik untuk masing-masing pembalap dan masing-masing sirkuit.
Rossi kala itu cukup percaya diri bannya akan tahan hingga lap-lap terakhir. Bahkan seringkali ia mencetak fastest lap di putaran terakhir. Namun semenjak aturan pembatasan jumlah pemakain ban diberlakukan, Michelin keteteran dan akhirnya mundur dari MotoGP.
Dengan regulasi ban tunggal, pengembangan teknologi ban sepertinya agak kurang (aturan pembatasan jumlah ban dan regulasi single tyre supplier memang ditujukan untuk mengurangi biaya pengembangan ban). Hampir semua pembalap sempat mengkritik performa ban Bridgestone yang dinilai sangat kurang memuaskan. Contohnya ban kompon keras mereka dirasa butuh waktu lama untuk pemanasan namun sangat cepat mengalami degradasi. Oleh karenanya pembalap yang sudah tertinggal pada pertengahan race sangat sulit untuk meningkatkan kecepatan motornya guna mengejar pembalap di depan.
Dengan berbagai problema itu, yang terjadi kemudian para pembalap seperti berlomba-lomba untuk meninggalkan kerumunan sejak tikungan pertama selepas start. Hasil kualifikasi menjadi sangat penting karena kans untuk melepaskan diri sejak lap awal tentu semakain besar jika mengawali balapan dari grid terdepan.
Di samping itu, kesenjangan performa motor antar pabrikan di musim 2011 ini juga sangat jelas terlihat. 10 dari 14 seri yang sudah di gelar dimenangkan oleh rider Honda dan hanya 4 lainnya yang diraih rider Yamaha.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, kenapa empat rider Honda yang dipersenjatai RC212V pabrikan sangat jarang bisa tampil head to head seperti halnya yang terjadi antara Rossi dan Lorenzo saat masih sama-sama menunggang YZR-M1? Inikah tanda-tanda kembalinya era dominasi a la Mick Doohan?