Pages

Minggu, 02 Oktober 2011

Sejarah Pendidikan Islam Indonesia Zaman Jepang



Makalah

Sejarah Pendidikan Islam Indonesia
Zaman Jepang

Dipresentasikan pada Diskusi Mata Kuliah
Sejarah Sosial Pendidikan Islam di Indonesia


Dosen Pengampu
Prof. Dr. Imam Fuadi, M.Ag.

Oleh :
Muhammad Asnan
M. Fathul Mustaqim



INSITUT AGAMA ISLAM TRI BHAKTI (IAIT) KEDIRI
PROGRAM PASCASARJANA
Oktober 2011


BAB I
PENDAHULUAN

A.                  Latar Belakang Masalah
Dengan mempelajari sejarah pendidikan Islam di Indonesia, kita dapat mengetahui pertumbuhan dan perkembangan umat islam, baik dilihat dari sebab-sebab kemunduran, maupun sebab terang benderangnya pendidikan dan ajaran Islam di bumi Nusantara ini.
Makalah ini mencoba mengungkapkan perjalanan pendidikan Islam di Indonesia pada masa penjajahan Jepang melalui berbagai rentetan sejarah yang pernah dialaminya.
Jepang muncul sebagai Negara kuat di Asia. Bangsa jepang bercita-cita menjadi pemimpin Asia Timur Raya, dan hal ini sudah direncanakan Jepang sejak tahun 1940 untuk mendirikan kemakmuran bersama Asia Raya. Menurut rencana tersebut Jepang ingin menjadi pusat suatu lingkungan yang berpengaruh atas daerah-daerah Mansyuria, Daratan Cina, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo Cina dan Rusia.
Kedatangan Jepang ke Indonesia ada satu hal istimewa dalam dunia pendidikan yaitu sekolah-sekolah telah diseragamkan dan dinegrikan meskipun sekolah-sekolah swasta lain, diizinkan terus berkembang dengan pengaturan dan diselenggarakan oleh penduduk jepang. Pembedaan pelayanan pendidikan didasarkan pada bangsa dan status sosial dihapus.
B.                 Rumusan Masalah
Objek pembahasan dalam makalah ini dijabarkan melalui Rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Sejarah Singkat Masuknya Jepang ke Indonesia
2.      Perkembangan Pendidikan dan Pengajaran
3.      Sikap Jepang terhadap Pendidikan Islam
4.      Pertumbuhan dan Perkembangan Madrasah

C.                Tujuan Penyusunan Makalah
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Sosial Pendidikan Islam program Pascasarjana IAIT Kediri. Dan untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan.

BAB II
PEMBAHASAN

A.                Sejarah Singkat Masuknya Jepang ke Indonesia
Bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe sebagai Perdana Menteri Jepang. Sebenarnya, sampai akhir tahun 1940, pimpinan militer Jepang tidak menghendaki melawan beberapa negara sekaligus, namun sejak pertengahan tahun 1941 mereka melihat, bahwa Amerika Serikat, Inggris dan Belanda harus dihadapi sekaligus, apabila mereka ingin menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara. Apalagi setelah Amerika melancarkan embargo minyak bumi, yang sangat mereka butuhkan, baik untuk industri di Jepang, maupun untuk keperluan perang.
Admiral Isoroku Yamamoto, Panglima Angkatan Laut Jepang, mengembangkan strategi perang yang sangat berani, yaitu mengerahkan seluruh kekuatan armadanya untuk dua operasi besar. Seluruh potensi Angkatan Laut Jepang mencakup 6 kapal induk (pengangkut pesawat tempur), 10 kapal perang, 18 kapal penjelajah berat, 20 kapal penjelajah ringan, 4 kapal pengangkut perlengkapan, 112 kapal perusak, 65 kapal selam serta 2.274 pesawat tempur. Kekuatan pertama, yaitu 6 kapal induk, 2 kapal perang, 11 kapal perusak serta lebih dari 1.400 pesawat tempur, tanggal 7 Desember 1941, akan menyerang secara mendadak basis Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor di kepulauan Hawaii. Sedangkan kekuatan kedua, sisa kekuatan Angkatan Laut yang mereka miliki, mendukung Angkatan Darat dalam Operasi Selatan, yaitu penyerangan atas Filipina dan Malaya/Singapura, yang akan dilanjutkan ke Jawa. Kekuatan yang dikerahkan ke Asia Tenggara adalah 11 Divisi Infantri yang didukung oleh 7 resimen tank serta 795 pesawat tempur. Seluruh operasi direncanakan selesai dalam 150 hari. Admiral Chuichi Nagumo memimpin armada yang ditugaskan menyerang Pearl Harbor.
Hari minggu pagi tanggal 7 Desember 1941, 360 pesawat terbang yang terdiri dari pembom pembawa torpedo serta sejumlah pesawat tempur diberangkatkan dalam dua gelombang. Pengeboman Pearl Harbor ini berhasil menenggelamkan dua kapal perang besar serta merusak 6 kapal perang lain. Selain itu pemboman Jepang tesebut juga menghancurkan 180 pesawat tempur Amerika. Lebih dari 2.330 serdadu Amerika tewas dan lebih dari 1.140 lainnya luka-luka. Namun tiga kapal induk Amerika selamat, karena pada saat itu tidak berada di Pearl Harbor. Tanggal 8 Desember 1941, Kongres Amerika Serikat menyatakan perang terhadap Jepang.
Perang Pasifik ini berpengaruh besar terhadap gerakan kemerdekaan negara-negara di Asia Timur, termasuk Indonesia. Tujuan Jepang menyerang dan menduduki Hindia-Belanda adalah untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama minyak bumi, guna mendukung potensi perang Jepang serta mendukung industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi seluruh operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatera sebagai sumber minyak utama.[1]
Kejayaan penjajah Belanda lenyap setelah Jepang berada di Indonesia. Mereka bertekuk lutut tanpa syarat kepada Jepang. Tujuan Jepang ke Indonesia ialah menjadikan Indonesia sebagai sumber bahan mentah dan tenaga manusia yang sangat besar artinya bagi kelangsungan perang Pasifik. Hal ini sesuai dengan cita-cita politik ekspansinya.
 Untuk mengetahui maksud dan tujuannya yang fasistis itu (bersifat memeras), maka ditanamkan ideologi baru, yakni ideologi Hakko Ichiu atau ideologi kemakmuran bersama di Asia Timur Raya.[2] Tanpa malu-malu Jepang menegaskan, bahwa mereka berjuang mati-matian, melakukan perang suci untuk kepentingan bangsa-bangsa di Asia Timur. Untuk ini dikerahkan barisan propaganda Jepang, disertai dengan pelaksanaan sistem kabaktian rakyat, untuk memeras bangsa kita. Meskipun demikian, keinginan dan semangat rakyat tetap bergelora untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah, seperti terbukti dari proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 yang kita tebus dengan perjuangan dan pengorbanan.

B.                  Perkembangan Pendidikan dan Pengajaran
a.                  Pendidikan pada zaman Jepang dilaksanakan atas dasar idiil Hakko-Ichi-U. hal ini mengandung arti bahwa pendidikan adalah alat untuk mencapai Lingkungan kemakmuran bersama Asia Timur Raya, yang dalam arti dekat membantu memenangkan perang Asia Timur. Oleh karena itu secara praktisnya, pendidikan prajurit yang siap membantu memenangkan peperangan bagi Jepang.[3]
b.                  Usaha penanaman ideologi Hakko Ichu melalui sekolah-sekolah dimulai dengan mengadakan pelatihan guru-guru. Guru-guru dibebani tugas sebagai penyebar ideologi baru tersebut. Pelatihat tersebut dipusatkan di Jakarta. Setiap Kabupaten diwajibkan mengirimkan wakilnya untuk mendapatkan gemblengan langsung dari pimpinan jepang. Gembelan ini berlangsung selama 3 bulan, jangka waktu tersebut dirasa cukup menjepangkan para guru.[4]
c.                  Bahasa Indonesia dijadikan bahasa pengantar resmi baik kantor maupun sekolah. Pemakaian bahasa Belanda dilarang sama sekali. Bahasa Jepang menjadi bahasa kedua, dan diajarkan di sekolah.[5]
d.                 Penyelenggaraan pendidikan zaman penjajahan Jepang banyak mengalami perubahan-perubahan. Pembedaan pelayanan pendidikan didasarkan pada bangsa dan status sosial dihapus. Dualistis-diskriminatif dalam sistem pendidikan dihilangkan, dengan demikian terjadi pengintegrasian terhadap macam-macam sekolah sejenis. Sejak zaman Jepang bahasa Indonsia dan istilah-istilah Indonesia dipergunakan di sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan.[6]
e.                  Jenis persekolahan
Sekolah-sekolah yang ada pada zaman penjajahan Jepang, yaitu:
1)      Sekolah rendah atau Lagere Oriderwijs diganti menjadi Sekolah Rakyat (Kokumi Gakho), yang terbuka bagi semua golongan penduduk dengan lama pendidikan enam tahun.
2)      Sekolah Menengah Pertama (Shoto Chu Gakho)
Sekolah Menengah Tinggi (Koto Chu Gakho)
Sekolah Pertukangan (Kogyo Gakho)
Sekolah Teknik Menengah (Kogyo Semmon Gakho)
Sekolah Hukum dan mosvia dihapuskan, sebaliknya didirikan Sekolah Pelajaran dan Sekolah Pelayanan Tinggi; sekolah terdiri atas tiga macam, yaitu: (1) Sekolah Guru Dua Tahun (Syoto Sikan Gakho), (2) Sekolah Guru Empat Tahun (Guto Sihan Gakho), (3) Sekolah Guru Enam Tahun (Koto Sihan Gakho). Disamping itu masih terdapat Sekolah Pertanian (Nogyo Gakho) di Tasikmalaya dan Malang dengan lama pendidikan tiga tahun sesudah Sekolah Rakyat.
f.                   Sistem Persekolahan
Terdiri atas tiga tingkatan atau jenjang, yaitu:
1)      Pendidikan Dasar 6 tahun
2)      Pendidikan Menengah 6 tahun
3)      Pendidikan Tinggi.[7]
Isi pengajaran:
1.                  Pengajaran dipergunakan sebagai alat propaganda dan juga untuk kepentingan perang. Murid-murid seringkali diharuskan kerja bakti, misalnya: membersihkan bengkel, asrama, membuat bahan-bahan untuk kepentingan pertahanan, dan sebagainya.
2.                  Untuk melipatgandakan hasil bumi, murid-murid diharuskan membuat pupuk kompos atau beramai-ramai membasmi hama tikus di sawah. Sebagian waktu belajar digunakan untuk menanami halaman sekolah dan pinggir-pinggir jalan dengan tanaman jeruk.
3.                  Pelatihan-pelatihan jasmani berupa pelatihan kemiliteran dan mengisi aktivitas-aktivitas murid-murid sehari-hari. Agar berjalan lancar, pada tiap-tiap sekolah dibentuk barisan-barisan murid. Barisan murid-murid SD disebut Seinen-tai, sedangkan barisan murid-murid sekolah lanjutan disebut Gokutotai.
4.                  Untuk menanamkan semangat jepang, tiap hari murid-murid harus mengucapkan sumpah pelajar dalam bahasa Jepang. Mereka harus menguasai bahasa dan nyanyian Jepang. Tiap-tiap pagi diadakan upacara, dengan menyembah Jepang dan menghormati istana Tokyo.
5.                  Agar bahasa Jepang lebih popular, diadakan ujian bahasa Jpang untuk para guru dan pegawai-pegawai, yang dibagi atas 5 tingkat. Pemilik ijazah ini mendapat tanbahan upah.[8]

C.                 Sikap Jepang terhadap Pendidikan Islam
Sikap penjajah Jepang terhadap pendidikan Islam ternyata lebih lunak sehingga ruang gerak pendidikan Islam lebih bebas daripada pada zaman pemerintah kolonial Belanda. Terlebih-lebih pada tahap permulaan, pemerintah Jepang menampakkan diri seakan-akan membela kepentingan Islam.[9] Kebijaksanaan yang diambil oleh Dai Nippon dalam mendekati umat Islam Indonesia antara lain adalah:
1.                  Mengangkat Dr. Hamka, reformis Minangkabau yang baru dibebaskan oleh penjajah Belanda dari pembuangan di Jawa Barat, untuk menjadi penasihat Sumubu. Dr. Hamka adalah orang bumiputra yang tanpa takut-takut membeberkan bahwa tidak mungkin menyatukan ajaran Shinto yang mengharuskan menyembah Kaisar dan matahari terbit dengan Islam yang monotheisme. Pemerintah Nippon tidak berani menangkap Dr. Hamka, karena beliau adalah ulama yang memiliki pengaruh cukup besar pada masyarakat Islam pada waktu itu.[10]
2.                  Kantor Urusan Agama pada zaman Belanda disebut: Kantoor Voor Islamistische Saken yang dipimpin oleh orang-orang Orientalisten Belanda, diubah Jepang menjadi Kantor Sumubi yang dipimpin oleh Ulama Islam sendiri yaitu K.H. Hasyim Asy’ari dari Jombang dan di daerah-daerah dibentuk Sumuka.[11]
3.                  Pondok pesantren yang besar-besar sering mendapatkan kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar Jepang.
4.                  Sekolah negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama.
5.                  Di samping itu pmerintahan Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah untuk memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam. Barisan ini dipimpin oleh K.H. Zainal Arifin.
6.                  Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh K.H. Wahid Hasyim, Kahar Mudzakir dan Bung Hatta.
7.                  Para ulama Islam bekerja sama dengan pmimpin-pemimpin nasionalis diizinkan membentuk barisan Pembela Tanah Air (Peta). Tokoh-tokoh santri dan pemuda Islam ikut dalam latihan kader militer itu, antara lain: Sudirman, Abd.Khaliq Hasyim, Iskandar Sulaiman, Yusuf Anis, Aruji Kartawinata, Kasman Singodimejo, Mulyadi Joyomartono, Wahib Wahab, Sarbini Saiful Islam dan lain-lain. Tentara Pembela Tanah Air inilah yang menjadi inti dari TNI sekarang.
8.                  Umat Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut; Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan.[12]
Maksud dari pemerintah Jepang adalah supaya kekuatan umat Islam dan nasionalis dapat dibina untuk kepentingan perang Asia Timur Raya yang dipimpin oleh Jepang.
Perang Dunia ke II menghebat dan tekanan pihak sekutu kepada Jepang makin berat. Beberapa tahun menjelang berakhirnya perang itu tampak semakin jelas betapa beratnya Jepang menghadapi musuh dari luar dan oposisi dari rakyat Indonesia sendiri. Dari segi militer dan sosial politik di Indonesia Jepang menampakkan diri sebagai penjajah yang sewenang-wenang dan lebih kasar daripada penjajah Belanda. Kekayaan bumi Indonesia dikumpulkan secara paksa untuk membiayai perang Asia Timur Raya, sehingga rakyat menderita kelaparan dan hamper telanjang karena kekurangan pakaian. Di samping itu rakyat dikerahkan kerja keras (romusha) untuk kepentingan perang.
Jepang membentuk badan-badan pertahanan rakyat seperti Haihoo, Peta, Keibodan, Seinan dan lain sebagainya, sehingga penderitaan rakyat lahir dan batin makin tak tertahankan lagi. Maka timbullah pemberontakan-pemberontakan baik dari golongan Peta di Blitar Jawa Timur dan lain-lain maupun oposisi dari para alim ulama. Banyak kyai yang ditangkap dan dipenjarakan oleh Jepang.
Dunia pendidikan secara umum terbengkalai, karena murid-murid sekolah setiap hari hanya disuruh gerak badan, baris berbaris, bekerja bakti (romusha), bernyanyi dan lain sebagainya. Yang masih agak beruntung adalah madrasah-madrasah yang berada dalam lingkungan pondok pesantren yang bebasa dari pengawasan langsung pemerintah Jepang. Pendidikan dalam pondok psantren masih dapat berjalan dengan agak wajar.[13]
Pada tanggal 7 Agustus, penguasa tertinggi wilayah Selatan Jepang mengambil inisiatif dari tangan penguasa Jakarta dengan membuat Dekrit didirikannya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang baru. Ketika panitia tersebut bersidang, Jepang telah menandatangani perjanjian menyerah kalah dengan pihak sekutu. Sepuluh hari setelah izin diberikan kepada Panitia Persiapan, lahirlah Republik Indonesia, setelah berabad-abad melawan pemerintah Kafir, akhirnya bangsa Indonesia terlepas dari belenggu yang sangat menyakitkan itu.[14]


D.                Pertumbuhan dan Perkembangan Madrasah
Pada masa pendudukan Jepang, ada satu hal istimewa dalam dunia pendidikan sebagaimana telah dikemukakan, yaitu sekolah-sekolah telah diseragamkan dan dinegrikan meskipun sekolah-sekolah swasta lain, seperti Muhammadiyah, Taman Siswa dan lain-lain diizinkan terus berkembang dengan pengaturan dan diselenggarakan oleh penduduk jepang.[15]
Sementara itu, khususnya pada masa awal-awalnya, madrasah dibangun dengan gencar-gencarnya selagi ada angin segar yang diberikan oleh jepang. Walaupun lebih bersifat politis belaka, kesempatan itu tidak disia-siakan begitu saja dan umat Islam Indonesia memanfaatkan dengan sebaik-baikinya. Ini tampak di sumatera dengan berdirinya madrasah Awaliyahnya, yang diilhami oleh Majelis Islam Tinggi.
Hampir seluruh pelosok pedesaan terdapat madrasah Awaliyah yang dikunjungi banyak anak laki-laki dan perempuan. Madrasah Awaliyah ini ditiadakan pada sore hari dengan waktu kurang satu setengah jam. Materi yang diajarkan ialah belajar membaca Al-Qur’an, ibadah, akhlak dan keimanan sebagai pelatihan pelajaran agama yang dilakukan di sekolah rakyat pagi hari.
Oleh karena itu, meskipun dunia pendidikan secara umum terbengkalai, karena murid-muridnya setiap hari hanya disuruh gerak badan, baris berbaris, bekerja bakti (romusha), bernyanyi dan sebagainya, madrasah-madrasah yang berada di dalam lingkunagn pondok pesantren bebas dari pengawasan langsung pemerintah penduduk Jepang.[16]

BAB III
KESIMPULAN
Tujuan Jepang ke Indonesia ialah menjadikan Indonesia sebagai sumber bahan mentah dan tenaga manusia yang sangat besar artinya bagi kelangsungan perang Pasifik.
Meskipun demikian, keinginan dan semangat rakyat tetap bergelora untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah, seperti terbukti dari proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 yang kita tebus dengan perjuangan dan pengorbanan.
Pada masa pendudukan Jepang, ada hal istimewa dalam dunia pendidikan, yaitu Bahasa Indonesia dijadikan bahasa pengantar resmi baik kantor maupun sekolah. Pembedaan pelayanan pendidikan didasarkan pada bangsa dan status sosial dihapus. Dualistis-diskriminatif dalam sistem pendidikan dihilangkan. sekolah-sekolah telah diseragamkan dan dinegrikan meskipun sekolah-sekolah swasta lain, seperti Muhammadiyah, Taman Siswa dan lain-lain diizinkan terus berkembang dengan pengaturan dan diselenggarakan oleh penduduk jepang. Hampir seluruh pelosok pedesaan terdapat madrasah Awaliyah yang dikunjungi banyak anak laki-laki dan perempuan.

DAFTAR PUSTAKA

Mustafa, Drs. H. A.  dan Abdullah Aly, Drs., Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (SPII), (Bandung: Pustaka Setia, 1999).
Raharjo, Redja Mujia, Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001).
Rukiati , Dra, Enung K & Dra, Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2006).
Zuhairini, Drs, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara 2008).
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara_%281942-1945%29. Di akses hari Jum’at 09 September 2011.



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara_%281942-1945%29. Di akses hari Jum’at 09 September 2011.
[2] A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (SPII), (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm 97.
[3] Redja Mujia Raharjo, Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm 268.
[4] A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Hlm 97.
[5] Redja Mujia Raharjo, Pengantar Pendidikan, hlm 269.
[6] Redja Mujia Raharjo, Pengantar Pendidikan, hlm 269.
[7] Redja Mujia Raharjo, Pengantar Pendidikan, hlm 270.
[8] A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Hlm 99.
[9] Enung K Rukiati & Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2006) hlm 62.
[10] A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Hlm 99.
[11] Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara 2008) hlm 151.
[12] Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, hlm 151.
[13] Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, hlm 152.
[14] A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Hlm 103.
[15] Enung K Rukiati & Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,  hlm 65.
[16] A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Hlm 110.