Pages

Senin, 13 Juni 2011

Manajemen Pendidikan Islam


  A. Pendahuluan
Dalam pandangan ajaran Islam, segala sesuatu harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, dan teratur.Proses-prosesnya harus diikuti dengan baik.Sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan.[1]Mulai dari urusan terkecil seperti mengatur urusan Rumah Tangga sampai dengan urusan terbesar seperti mengatur urusan sebuah negara.Semua itu diperlukan pengaturan yang baik, tepat dan terarah dalam bingkai sebuah manajemen agar tujuan yang hendak dicapai bisa diraih dan bisa selesai secara efisien dan efektif.
Pendidikan Agama Islam dengan berbagai jalur, jenjang, dan bentuk yang ada seperti pada jalur pendidikan formal ada jenjang pendidikan dasar yang berbentuk Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), jenjang pendidikan menengah ada yang berbentuk Madrasah Alyah (MA) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), dan pada jenjang pendidikan tinggi terdapat begitu banyak Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dengan berbagai bentuknya ada yang berbentuk Akademi, Sekolah Tinggi, Institut, dan Universitas. Pada jalur pendidikan non formal seperti Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak (TPA), Majelis Ta’lim, Pesantren dan Madrasah Diniyah.Jalur Pendidikan Informal seperti pendidikan yang diselenggarakan di dalam kelurarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Kesemuanya itu perlu pengelolaan atau manajemen yang sebaik-baiknya, sebab jika tidak bukan hanya gambaran negatif tentang pendidikan Islam yang ada pada masyarakat akan tetap melekat dan sulit dihilangkan bahkan mungkin Pendidikan Islam yang haq itu akan hancur oleh kebathilan yang dikelola dan tersusun rapi yang berada di sekelilingnya, sebagaimana dikemukakan Ali bin Abi Thalib :
الحق بلا نظام يغلبه الباطل بالنظام
”kebenaran yang tidak terorganisir dengan rapi akan dihancurkan oleh kebathilan yang tersusun rapi”.


Makalah ini, akan membahas tentang pengertian Manajemen Pendidikan Islam, Implikasinya, karakteristik mana­jemen pendidikan Islam, prinsip-prinsip dasar manajemen pendidikan Islam, dan mekanisme membangun konsep mana­jemen pendidikan Islam, serta fungsi-fungsi manajemen pendidikan Islam.


B.   Manajemen Pendidikan Islam dan Implikasinya

Dari segi bahasa manajemen berasal dari bahasa Inggris yang merupakan terjemahan langsung dari kata managementyang berarti pengelolaan, ketata laksanaan, atau tata pimpinan. Sementara itu, Mochtar Efendy berpendapat bahwa manajemen berasal dari kata kerja bahasa Inggris “ To Manage” yang sinonim dengan to hand, to control, dan to guide (mengurus, memeriksa dan memimpin). Dari sini, manajemen dapat diartikan pengurusan, pengendalian, memimpin atau membimbing.[2]
Ramayulis dalam bukunya, Ilmu Pendidikan Islam, menyatakan bahwa pengertian yang sama dengan hakikat manajemen adalah al-tadbir (pengaturan).[3] Kata ini merupakan derivasi dari kata dabbara (mengatur) yang banyak terdapat dalam Al Qur’an seperti firman Allah SWT :
يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ مِنَ السَّمَآءِ إِلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةِ مِّمَّا تَعُدُّونَ
Artinya : Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu (Al Sajdah : 05).
Dari isi kandungan ayat di atas, dapatlah diketahui bahwa Allah swt adalah pengatur alam (manager).Keteraturan alam raya ini merupakan bukti kebesaran Allah swt dalam mengelola alam ini.Namun, karena manusia yang diciptakan Allah SWT telah dijadaikan sebagai khalifah di bumi, maka dia harus mengatur dan mengelola bumi dengan sebaik-baiknya sebagaimana Allah mengatur alam raya ini.
Sementara manajemen menurut istilah adalah proses mengkordinasikan aktifitas-aktifitas kerja sehingga dapat selesai secara efesien dan efektif dengan dan melalui orang lain.[4] Sedangkan Sondang P Siagian,  mengartikan manajemen sebagai kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh suatu hasil dalam rangka mencapai tujuan melalui kegiatan-kegiatan orang lain.[5]
Bila kita perhatikan dari kedua pengertian manajemen di atas maka dapat disimpulkan bahwa manajemen merupkan sebuah proses pemanfaatan semua sumber daya melalui bantuan orang lain dan bekerjasama dengannya, agar tujuan bersama bisa dicapai secara efektif, efesien, dan produktif. Disisi lain,  Pendidikan Islam merupakan proses transinternalisasi nilai-nilai Islam kepada peserta didik sebagai bekal untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat.
Dengan demikian maka yang disebut dengan manajemen pendidikan Islam sebagaimana dinyatakan Ramayulis adalah proses pemanfaatan semua sumber daya yang dimiliki (ummat Islam, lembaga pendidikan atau lainnya) baik perangkat keras maupun lunak. Pemanfaatan tersebut dilakukan melalui kerjasama dengan orang lain secara efektif, efisien, dan produktif untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat.[6]
Definisi lain dipaparkan oleh Mujammil Qomar dalam karyanyaManajemen pendidikan Islam, Ia menyatakan bahwa ”Manajemen pendidikan Islam adalah suatu proses pengelolaan lembaga pendidikan secara Islami dengan cara menyiasati sumber-sumber belajar dan hal-hal lain yang terkait untuk mencapai tujuan pendidikan Islam secara efektif dan efisien.”[7] Lebih lanjut Mujammil Mengatakan,  bahwa makna definitif ini memiliki implikasi-implikasi yang saling terkait dan membentuk satu kesatuan sistem dalam manajemen pendidikan Islam. Implikasi-implikasi tersebut antara lain :
Pertama,proses pengelolaan lembaga pendidikan Islam secara islami. Aspek ini menghendaki adanya muatan-muatan nilai Islam dalam proses pengelolaan lembaga pendidikan Islam. Misalnya, penekanan pada penghargaan, maslahat, kualitas, kemajuan, dan pemberdayaan.Selanjutnya, upava pengelolaan itu diupayakan bersandar pada pesan-pesAn Al-Qur'an dan hadis agar selalu dapat menjaga sifat Islami.

Kedua, terhadap lembaga pendidikan Islam.Hal ini menunjukkan objek dari manajemen ini yang secara khusus diarahkan untuk menangani lembaga pendidikan Islam dengan segala keunikannya.Maka, manajemen ini bisa memaparkan cara-cara pengelolaan pesantren, madrasah, perguruan tinggi Islam, dan sebagainya.

Ketiga,proses pengelolaan lembaga pendidikan Islam secara Islami menghendaki adanya sifat inklusif dan eksklusif. Frase secara islami menunjukkan sikap inklusif, yang btrarti kaidah-kaidah manajerial yang dirumuskan dalam buku ini bisa dipakai untuk pengelolaan pendidikan selain pendidikan Islam selama ada kesesuaian sifat dan misinya. Dan sebaliknya, kaidah-kaidah manajemen pendidikan secara umum bisa juga dipakai dalam mengelola pendidikan Islam selama sesuai dengan nilai-nilai Islam, realita, dan kultur yang dihadapi lembaga pendidikan Islam. Sementara itu, frase lembaga pendidikan Islam menunjukkan keadaan eksklusif karena menjadi objek langsung dari kajian ini, hanya terfokus pada lembaga pendidikan Islam".Sedangkan, lembaga pendidikan lainnya telah dibahas secara detail dalam buku-buku manajemen pendidikan.

Keempat, dengan cara menyiasati. Frase ini mengandung strategi yang menjadi salah satu pembeda antara administrasi dengan manajemen.Manajemen penuh siasat atau strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan.Demikian pula dengan manajemen pendidikan Islam yang senantiasa diwujudkan melalui strategi tertentu. Adakalanya strategi tersebut sesuai dengan strategi dalam mengelola lembaga pendidikan umum, tetapi bisa jadi berbeda sama sekali lantaran adanya situasi khusus yang dihadapi lembaga pendidikan Islam.

Kelima, sumber-sumber belajar dan hal-hal lain yany terkait. Sumber belaiar di sini memiliki cakupan yang cukup luas, yaitu: (1) Manusia, yang meliputi guru/ustadz/dosen, siswa/santri/mahasiswa, para pegawai, dan para pengurus yayasan; (2) Bahan, yang meliputi perpustakaan, buku palajaran, dan sebagainya; (3) Lingkungan, merupakan segala hal yang mengarah pada masyarakat; (4) Alatt dan peralatan, seperti laboratorium; dan (5) Aktivitas. Adapun hal-hal lain yang terkait bisa berupa keadaan sosio-politik, sosio-kultural, sosio-ekonomik, maupun sosio-religius yang dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam.

Keenam, tujuan pendidikan Islam.Hal ini merupakan arah dari seluruh kegiatan pengelolaan lembaga pendidikan Islam sehingga tujuan ini sangat memengaruhi komponen-komponen lainnya, bahkan mengendalikannya.

Ketujuh, efektif dan efisien.Maksudnya, berhasil guna dan berdaya guna.Artinya, manajemen yang berhasil mencapai tujuan dengan penghematan tenaga, waktu, dan biaya. Efektif dan efisien ini merupakan penjelasan terhadap kompcnfen-komponen sebelumnya sekaligus mengandung makna pe-nyempurnaan dalam proses pencapaian tujuan pendidikan Islam.[8]

Lalu, dari sini muncul pertanyaan: Apa perbedaan manajemen pendidikan Islam dengan manajemen lainnya misalnya dengan manajemen pendidikan umum? Memang secara general sama. Artinya, ada banyak atau bahkan mayoritas kaidah-kaidah manajerial yang dapat digunakan oleh kedua jenis manajemen tersebut, bahkan oleh seluruh manajemen.Namun, secara spesifik terdapat kekhususan-kekhususan yang membutuhkan penanganan yang spesial pula.Dalam hal ini, Dede Rosyada menyatakan, "Inti manajemen dalam bidang apa pun sama, hanya saja variabel yang dihadapinya bisa berbeda, tergantung pada  bidang  apa  manajemen   tersebut  digunakan  dan  dikembangkan."[9]  Perbedaan variabel ini membawa perbedaan kultur yang kemudian memunculkan berbagai perbedaan.


C. Karakteristik Manajemen Pendidikan Islam

Manajemen pendidikan Islam memiliki objek bahasan yang cukup kompleks.Berbagai objek bahasan tersebut dapat dijadikan bahan yang kemudian diintegrasikan untuk mewujudkan manajemen pendidikan yang berciri khas Islam.Mujammil Qomar mengatakan, "Istilah Islam dapat dimaknai sebagai Islam wahyu atau Islam budaya. Islam wahyu meliputi Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi,.baik hadis Nabawi maupun hadis Qudsi. Sementara itu, Islam budaya meliputi ungkapan sahabat Nabi, pemahaman ulama, pemahaman cendekiawan  muslim dan budaya umat Islam. Kata Islam yang menjadi identitas manajemen pendidikan ini dimaksudkan dapat mencakup makna keduanya, yakni Islam wahyu dan Islam budaya.[10]Oleh karena itu, pembahasan manajemen pendidikan Islam senantiasa melibatkan wahyu dan budaya kaum muslimin, ditambah kaidah-kaidah manajemen pendidikan secara umum, Maka, pembahasan ini akan mempertimbangkan bahan-bahan sebagai berikut:
  1. Teks-teks  wahyu   baik  Al-Qur'an   maupun   hadis  yang terkait dengan manajemen pendidikan.
  2. Perkataan-perkataan (aqwal) para sahabat Nabi maupun ulama  dan  cendekiawan  muslim  yang terkait  dengan manajemen pendidikan.
  3. Realitas perkembangan lembaga pendidikan Islam.
  4. Kultur   komunitas   (pinipinan   dan   pegawai)   lembaga pendidikan Islam.
  5. Ketentuan kaidah-kaidah manajemen pendidikan.[11]

Jika dicermati, bahan nomor 1 sampai 4 merefleksikan ciri khas Islam pada bangunan manajemen pendidikan Islam, sementara bahan nomor 5 merupakan tambahan yang bersifat umum dan karenanya dapat digunakan untuk membantu merumuskan bangunan manajemen pendidikan Islam. Tentunya setelah diseleksi berdasarkan nilai-nilai Islam dan realitas yang dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam. Nilai-nilai Islam tersebut merupakan refleksi wahyu, sedangkan realitas tersebut sebagai refleksi budaya atau kultur.
Teks-teks wahyu sebagai sandaran teologis. Perkataan-perkataan para sahabat Nabi, ulama, dan cendekiawan muslim sebagai sandaran rasional, realitas perkembangan lembaga pendidikan Islam serta kultur komunitas (pimpinan dan pegawai) lembaga pendidikan Islam sebagai sandaran empiris; sedangkan ketentuan kaidah-kaidah manajemen pendidikan sebagai sandaran teoretis. Jadi, bangunan manajemen pen­didikan Islam ini diletakkan di atas empat sandaran, yaitu sandaran teologis, rasional, empiris, dan teoretis.

Sandaran teologis menimbulkan keyakinan adanya kebenaran pesan-pesan wahyu karena berasal dari Tuhan, sandaran rasional menimbulkan keyakinan kebenaran ber­dasarkan pertimbangan akal-pikiran.Sandaran empiris me­nimbulkan keyakinan adanya kebenaran berdasarkan data-data yang akurat, sedangkan sandaran teoretis menimbulkan keyakinan adanya kebenaran berdasarkan akal pikiran dan data sekaligus serta telah dipraktikkan berkali-kali dalam pengelolaan pendidikan.

Selanjutnya, penerapan manajemen pendidikan Islam dalam pengelolaan lembaga pendidikan juga menghadapi berbagai kendala/hambatan, baik yang bersifat politis, ekonomik-finansial, intelektual, maupun dakwah. Hambatan-hambatan tersebut dapat dirinci sebagaimana dijelaskan oleh Mujammil Qomar, sebagai berikut:

1. Ideologi, Politik, dan Tekanan (Pressure) Kelornpok-kelompok Kepentingan.

Dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam terutama yang berstatus negeri, acap kali terjadi pertentangan ideologi antar organisasi sosial keagamaan, utamanya, misalnya antara Muhammadiyah dan NU, atau antar­ organisasi kemahasiswaan, terutama antara HMI dengan PMII, HMI dengan IMM, atau IMM dengan PMII. Lantaran pertentangan-pertentangan ini, akhirnya politik kepentingan memasuki arena lembaga pendidikan dengan memberikan tekanan-tekanan tertentu.
Mantan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama, Yahya Umar, pernah mencoba mengamati dan menyelami kehidupan kampus UIN, IAIN, maupun STAIN di seluruh Indonesia. Pengamatan tersebut akhirnya menghasilkan suatu kesimpulan yang singkat tetapi penuh makna, bahwa di kalangan PTAIN tidak ada civitas akademika, sebaliknya yang ada justru civitas politika.Kesimpulan ini tampaknya memang benar karena nuansa politik di kalangan dosen, mahasiswa, bahkan karyawan sangat dominan, mengalahkan nuansa akademik.Oleh karenanya, kegiatan di lingkungan kampus lebih mengarah pada gerakan-gerukan politik dari pada pemberdayaan intelektual.
Nuansa politik tersebut semakin terasa saat menjelang dan pasca pemilihan rektor, dekan, maupun ketua lembaga.Akibatnya, pertikaian antar dosen, antar karyawan, dan antar mahasiswa terus berlangsung.Hal ini tentu saja menghambat kerir manajer (rektor, dekan, atau ketua lembaga) dalam melaksanakan dan menyukseskan program-programnya.Dosen dan karyawan pun tidak bisa bekerja secara maksimal akibat pertentangan itu.Dan, biasanya, paling cepat pertikaian itu berjalan dua tahun; setahun pasca pemilihan dan setahun menjelang pemilihan lagi.Jadi, dalam satu periode kepemimpinan rektor, dekan, atau ketua lembaga yang selama empat tahun itu mereka bisa bekerja secara normal paling lama hanya dua tahun.
Dalam dua tahun itu pun, masing-masing aktivis memiliki agenda dan kepentingan sendiri-sendiri yang berusaha melakukan intervensi terhadap keputusan-keputusan pimpinan. Sufyarman melaporkan, "Kelompok kepentingan hadir dalam percaturan pembuatan kebijaksanaan untuk memperjuangkan kepentingannya da­lam kebijaksanaan dalam skala sempit dan spesifik."Akibatnya, pimpinan tidak bisa bersikap lugas, mandiri, dan profesional.Tindakan pimpinan dalam mengambil keputusan seringkali dibayang-bayangi intervensi kepen­tingan kelompoknya.Hal ini dilakukan pimpinan baik atas kesadaran sendiri maupun tekanan dari orang-orang di sekelilingnya yang satu ideologi, aliran, maupun kelompok.[12]

2. Kondisi Sosio-Ekonomik Masyarakat dan Animo-Finansial Lembaga.

Masyarakat santri di Indonesia secara sosio-ekonornik rata-rata berada dalam kategori kelas menengah ke bawah.Ekonomi orangtua siswa lernah, ekonomi karyawan, pengajar, dan bahkan pimpinannya juga.Ini merupakan kendala serius bagi lembaga pendidikan Islam untuk memacu kemajuan yang signifikan.Bagaimana seorang kepala madrasah misalnya, di tuntut mengelola madrasahnya secara professional, sementara kondisi ekonomi keluarganya amburadul.Bagaimana guru-guru madrasah bisa dituntut serius melakukan inovasi strategi, pendekatan, metode, dan desain pembelajaran dengan baik, sementara kebutuhan dasar sehari-hari saia tidak terpenuhi.Padahal, guru merupakan ujung tombak pendidikan. Menurut E. Mulyasa, "Guru meru­pakan pemeran utama proses pendidikan yang sangat menentukan tercapai tidaknya tujuan pendidikan."Oleh karenanya, guru merupakan jiwa dari sekolah.Demikian juga karyawan, mereka sulit untuk bekerja serius ketika dibelit oleh persoalan ekonomi.Sedangkan kelemahan ekonomi orang tua murid senantiasa berdampak langsung terhadap minimnya kesejahteraan pegawai, apalagi untuk pengembangan fisik.

Ekonomi orangtua siswa yang lemah menyebabkan pendapatan keuangan pada lembaga pendidikan Islam sangat minim, sebab mayoritas kehidupan lembaga pen­didikan Islam swasta hanya mengandalkan keuangan dari SPP, Sumbangan uang gedung, dan iuran lainnya .[13]


3. Komposisi Status Kelembagaa dan Diskriminasi kebijakan Pemerintah

Mayoritas lembaga pendidikan Islam berstatus swasta, dananya bersumber dari swadaya masyarakat santri yang kondisi ekonominyaada pada  kelas menengah ke bawah. Komposisi ini  palingjelas terlihat pada tingkat madrasah ibtidaiyah, terutama jika dibandingkan dengan sekolah  Dasar. Data statistik 2005/2006 yang menggambarkan jumlah sekolah di Indonesia menyebutkan terdapat 21.042 (93,1%) madrasah ibtidaiyah swasta, sedangkan madrasah ibtidaiyah negeri  hanya berjumlah 1.568 (6,9%.). Keadaan ini berbanding terbalik jika dibandingkan dengan sekolah dasar. Sebab, sekoiah dasar negeri mencapai jumlah 137.673 (92,87%), sedangkan sekoiah dasar swasta hanya berjumlah 10.569 (7,13%). Pada tingkat tsanawiyah, yang berstatus negeri hanya berjumlah 1.264 (,10,1%), sedangkan yang swasta mencapai 11.234 (89,9%). Hal ini berbanding jauh dengan SMP yang berstatus negeri mencapai 12.951 (54,30%), sedangkan swasta hanya 10.902 (43,70%). Demikian juga pada madrasah aliyah negeri nilainya 642 (13,1%), sedangkan swasta mencapai 4.276 (86,9%). Sementara itu, SMA negeri masih mencapai 3.940 (42,29%), sedangkan SMA swasta berjumlah 5.377 (57.71%).[14]


4. Keadaan Potensi Intelektual Siswa dan Mahasiswa

Di samping  secara ekonomi siswa/mahasiswa dalam lembaga pendidikan Islam berada dalam kategori kelas menengah ke bawah, secara inteiektual, potensi mereka juga lemah, Rata-rata siswa/mahasiswa mendaftar di berbagai lembaga pendidikan Islam karena merasa tidak mungkin diterima di lembaga pendidikan umum yang maju dan terutama vang berstatus negeri. Sebagian dari mereka yang telah gagal masuk di lembaga pendidikan umum negeri kemudian memilih lembaga pendidikan Islam.Dengan demikian, lembaga pendidikan Islam menjadi tempat pelarian siswa/mahasiswa yang gagal masuk lembaga pendidikan umum negeri, atau karena menyadari kemampuannya rendah dan mungkin amat rendah sehingga sengaja tidak pernah mendaftar di lembaga pendidikan umum negeri.

Keadaan ini menunjukkan adanya unsur keterpaksaan; daripada tidak sekolah/kuliah masih lebih baik memasuki lembaga pendidikan Islam.Kalaulah bukan keterpaksaan, setidaknya lembaga pendidikan Islam tetap bukan pilihan utama bagi siswa/mahasiswa.Kondisi psikologis ini tentunya tidak dapat memberikan pengaruh positif untuk membangkitkan gairah belajar guna mengejar penguasaan pengetahuan.


5. Keberadaan Motif Dakwh atas Pendirian Lembaga Pendidikan Islam

Keberadaan lembaga pendidikan Islam kebanyakan berangkat dari bawah dan berawal dari inisiatif para tokoh-tokoh dan didukung oleh masyarakat sekitar.Mereka mendirikan lembaga pendidikan tersebut dengan motif dakwah, upaya sosialisasi, dan penanaman ajaran-ajaran Islam ke tengah-tengah masyarakat.

Dengan adanya motif dakwah tersebut, timbulah konsekuensi-konsekuensi yang menjadi akibat.Misalnya lembaga tersebut didirikan secara asal-asalan dan tanpa melalui perencanaan matanguntuk memenuhi berbagai komponen pendukungnya. Layaknyagerakan dakwah yang senantiasa berangkat dari bawah, dengan menggunakanpeadekatan pahala dan konsep lillahi ta'ala, maka terkadang mengabaikan kesejahteraan pegawai dan menerima semua pendaftar tanpa seleksi. Hal ini didasari dengan pemikiran bahwa mengapa harus menolak siswa atau mahasiswa yang mau belajar?Sikap menolak orang vang mau belaiar itu tidak baik.Motif dakwah dalam pendirian lembaga pendidikan Islam ini membawa dampak positit dan negatif.[15]
Melihat hambatan-hambatan ditas,  maka karakteristik manajemen pendidikan Islam lebih bersifat holistik, artinya strategi pengelolaan pendidikan Islam dilakukan dengan memadukan sumber-sumber belajar dan mempertimbangkan keterlibatan budaya manusianya, baik budaya yang bercorak politis, ekonomis, intelektual, maupun teologis.


D. Prinsip prinsip Dasar Manajemen Pendidikan Islam

Pembahasan ini akan menghadirkan contoh-contoh ayat Al-Qur'an, hadis Nabi, maupun perkataan sahabat Nabi yang dapat dipandang sebagai prinsip-prinsip dasar manajemen pendidikan Islam. Sumber-sumber prinsip tersebut bersifat normatif-inspiratif yang membutuhkan tindak lanjut berupa pemahaman, penafsiran, dan pemahaman secara konteksuial.
Adapun   contoh-contoh   ayat   Al-Qur'an,   hadis   Nabi, maupun pernyataan sahabat Nabi tersebut dapat diikuti pada pemaparan di bawah ini.

1.    Surah al-Hasyr: 18.
يا أيها الذين أمنوالتقوا الله ولتنظر نفس ماقدمت لغد, واتقوا الله إن الله خبير بما تعملون


Artinya :Hai Orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian semua kepada Allah SWT, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertaqwalah kepada Allah SWT, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Menurut Muhammad Ali al-Shabuni, vang dimaksuddengan wal tandzur nafsun maa qoddamat lighadadalah hendaknya masing-masing individu memerhatikan amal-amal saleh apa yang diperbuat untuk menghadapi Hari Kiamat.[16]
Ayat ini memberi pesan kepada orang-orang yang beriman untuk memikirkan masa depan. Dalam bahasa manajemen, pemikiran masa depan yang dituangkan dalam konsep yang jelas dan sistematis ini disebut perencanaan (planning). Perencanaan ini rnenjadi sangat penting karena berfungsi sebagai pengarah bagi kegiatan, target-target, dan hasil-hasilnya di masa depan sehingga apa pun kegiatan yang dilakukan dapat berjalan dengan tertib.


2. Perkataan (qaul) Syyidina Ali Ibn Abi Talib

الحق بلا نظام يغلبه الباطل بالنظام
Artinya : “Kebenaran yang tidak terorganisasi dapat dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi.”

Qawl ini mengingatkan kepada kepada kita kepada urgensi berorganisasi dan ancaman pada kebenaran yang tidak terorganisasi melalui langkah-langkah yang kongkrit dan strategi yang mantap.

3. Hadits Riwayat al Bukhari

حدثنا محمد بن سنان حدثنا فليح بن سليمان حدثنا هلال بن علي عن عطاء عن يسار عن أبي هريرة ىضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة. قال: كيف إضاعتها يارسول الله ؟ قال : إذا أسند الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة

Artinya : Apabila suatu suatu amanah disia-siakan, maka tunggulah saat-saat kehancuran. (Abu Hurairah) bertanya: Bagaimana meletakan amanah itu ya Rasulallh ? Beliau menjawab “ Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”.

Hadits ini menarik untuk dicermati, karena hadits ini menghubungkan antara amشnah dengan keahlian.Juga, memberikan peringatan kepada kita yang sifatnya prespektif manajerial karena amanah berarti menyerahkan suatu perkara kepada seseorang yang professional.

4. Hadits Riwayat Ibnu Majah


حدثنا العباس بن الوليد الدمشقي. حدثنا وهب بن سعيد بن عطية السلمي. حدثنا عبد الرحمن بن زيد بن أسلم عن أبيه عن عبد الله بن عمر, قال : قال رسول الله : أعطوا الأجير أجره قبل أن يجف عرقه

Artinya : “Berilahkanlah upah/gaji pegawai sebelum kering keringatnya”.

Hadits ini memberikan penjelasan kepada kita untuk memberikan gaji, upah atau honorarium secepat mungkin. Dengan pengertian lain, hadits tersebut berisi pendidikan penghargaan, dan dalam mengelola lembaga, termasuk di dalamnya lembaga pendidikan Islam. Penghargaan ini sangat kondusif dalam rangka mewujudkan kepuasan pegawai yang berdampak mampu membangkitkan kinerja, kedisiplinan serta tanggung jawab.



E. Mekanisme Membangun Konsep Manajemen Pendidikan Islam

Menurut Mujammil Qomar, Salah satu kelemahan umat Islam, bahkan para cendekiawannva adalah kebiasaan berhenti pada konsep normatif sehingga mereka seakan telah puas hanya dengan hafal dalil-dalil Al-Qur'an dan hadis. Maka, wajar jika belakangan ini terjadi kelangkaan karya-karya kreatif sebagai pembangkit peradaban Islam.

Untuk merespons gejala kelangkaan itu, Mujammil menyodorkan agenda alternatif pemikiran paradigmatik bagi cendekiawan muslim Indonesia. Agenda pertama adalah mengubah tradisi berpikir normatif menjadi tradisi berpikir teoretis.Tradisi berpikir normatit berorientasi pada dakwah.Hal yang paling tidak menguntungkan dari sifat berpikir tersebut adalah bisa menimbulkan stagnasi.Sementara itu, tradisi berpikir teoritis berorientasi pada keilmuan dan tentu memotivasi dinamika keilmuan dan dinamika peradaban.
Secara materi, sebenarnva banyak sekali bahan keilmuan yang berserakan dalam herbagai bidang keilmuan, termasuk bahan-bahan manajemen pendidikan Islam.

Selanjutnya, perlu dikenali dahulu posisi dan fungsi bahan-bahan keilmuan manajemen pendidikan Islam tersebut untuk memudahkan pemahaman bagaimana mekanisme membangun konsep-konsep teoretis tentang manajemen pendidikan Islam.Berikut ini bahan-bahan keilmuan mana­jemen pendidikan Islam tersebut.


  1. Teks-teks wahyu, baik Al-Qur'an maupun hadissahih sebagai  pengendali bangunan   rumusan  kaidah-kaidah teoretis manajemen pendidikan Islam.
  2. Aqwal  (perkataan-perkataan)   para   sahabat  Nabi,  ulama,   dan   cendekiawan  rnuslim   sebagai   pijakan   logis-argumentatif dalam menjelaskan kaidah-kaidah teoretis manajemen pendidikan Islam seeara rasional.
  3. Perkembangan lembaga pendidikan Islam sebagai pijakan empiris dalam mendasari perumusan kaidah-kaidah teo­retis manajemen pendidikan Islam.
  4. Kultur komunitas (pimpinan dan pegawai) dalam 1embaga pendidikan Islam sebagai pijakan empiris dalam merumuskan kemungkinan strategis yang khas dalam mengelola lembaga pendidikan Islam.
  5. Ketentuan-ketentuan kaidah manajemen pendidikan sebagai pijakan teoritis dalam mengelola lembaga pendidikan Islam.[17]


Mekanisme ini mempertegas sikap bahwa dalam wilayah keilmuan sekalipun, Islam melalui wahvu hadir untuk memberikan inspirasi-kreatifdalam membangun konsep ilmiah.Rincian detailnya tentu saja diserahkan pada para ahli pendidikan Islam berdasarkan inspirasi-kreatif dari wahyu tersebut.Tetapi, dalam pembahasan ini, kita juga harus bersikap adaptif-edukatif terhadap kaidah-kaidah manajemen pendidikan yang terdapat dalam berbagai literatur dan dipengaruhi oleh pemikiran dan pengalaman orang-orang Barat.Sikap adaptif ini didasarkan pada pemikiran bahwa secara urnum kaidah-kaidah manajemen pendidikan itu bersifat general atau universal yang juga dapat diterapkan dalam mengelola lembaga pendidikan Islam.Hanya saja, mungkin ada kaidah-kaidah tertentu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam atau realita yang dihadapi lembaga pendidikan Islam lantaran faktor budaya tertentu yang unik dan khas, sehingga dibutuhkan sikap selektif dengan mengkritisi kaidah-kaidah manajemen pendidikan secara um urn itu, untuk kemudian diganti atau disempurnakan.


F. Fungsi-fungsi Manajemen Pendidikan Islam

Untuk mempermudah pembahasan mengenai fungsi manajemen pendidikan Islam, maka kami akan menguraikan fungsi manajemen pendidikan Islam sesuai dengan pendapat yang dikemukan oleh Robbin dan Coulter yang pendapatnya senada dengan Mahdi bin Ibrahim yaitu : Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan/kepemimpinan, dan pengawasan.
1. Fungsi Perencanaan (Planning)
Perencanaan adalah sebuah proses perdana ketika hendak melakukan pekerjaan baik dalam bentuk pemikiran maupun kerangka kerja agar tujuan yang hendak dicapai mendapatkan hasil yang optimal. Demikian pula halnya dalam pendidikan Islam perencanaan harus dijadikan langkah pertama yang benar-benar diperhatikan oleh para manajer dan para pengelola pendidikan Islam. Sebab perencanaan merupakan bagian penting dari sebuah kesuksesan, kesalahan dalam menentukan perencanaan pendidikan Islam akan berakibat sangat patal bagi keberlangsungan pendidikan Islam. Bahkan Allah memberikan arahan kepada setiap orang yang beriman untuk mendesain sebuah rencana apa yang akan dilakukan dikemudian hari, sebagaimana Firman-Nya dalam Al Qur’an Surat Al Hasyr : 18 yang berbunyi :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسُُ مَّاقَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ketika menyusun sebuah perencanaan dalam pendidikan Islam tidaklah dilakukan hanya untuk mencapai tujuan dunia semata, tapi harus jauh lebih dari itu melampaui batas-batas target kehidupan duniawi. Arahkanlah perencanaan itu juga untuk mencapai target kebahagiaan dunia dan akhirat, sehingga kedua-duanya bisa dicapai secara seimbang.
Mahdi bin Ibrahim mengemukakan bahwa ada lima perkara penting untuk diperhatikan demi keberhasilan sebuah perencanaan, yaitu :
  1. Ketelitian dan kejelasan dalam membentuk tujuan
  2. Ketepatan waktu dengan tujuan yang hendak dicapai
  3. Keterkaitan antara fase-fase operasional rencana dengan penanggung jawab operasional, agar mereka mengetahui fase-fase tersebut dengan tujuan yang hendak dicapai
  4. Perhatian terhadap aspek-aspek amaliah ditinjau dari sisi penerimaan masyarakat, mempertimbangkan perencanaa, kesesuaian perencanaan dengan tim yang bertanggung jawab terhadap operasionalnya atau dengan mitra kerjanya, kemungkinan-kemungkinan yang bisa dicapai, dan kesiapan perencanaan melakukan evaluasi secara terus menerus dalam merealisasikan tujuan.
  5. Kemampuan organisatoris penanggung jaawab operasional.[18]
Sementara itu menurut Ramayulis  mengatakan bahwa dalam Manajemen pendidikan Islam perencanaan itu meliputi :
  1. Penentuan prioritas agar pelaksanaan pendidikan berjalan efektif, prioritas kebutuhan agar melibatkan seluruh komponen yang terlibat dalam proses pendidikan, masyarakat dan bahkan murid.
  2. Penetapan tujuan sebagai garis pengarahan dan sebagai evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil pendidikan
  3. Formulasi prosedur sebagai tahap-tahap rencana tindakan.
  4. Penyerahan tanggung jawab kepada individu dan kelompok-kelompok kerja.[19]
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam Manajeman Pendidikan Islam perencanaan merupakan kunci utama untuk menentukan aktivitas berikutnya. Tanpa perencanaan yang matang aktivitas lainnya tidaklah akan berjalan dengan baik bahkan mungkin akan gagal. Oleh karena itu buatlah perencanaan sematang mungkin agar menemui kesuksesan yang memuaskan.
2. Fungsi Pengorganisasian (organizing)
Ajaran Islam senantiasa mendorong para pemeluknya untuk melakukan segala sesuatu secara terorganisir dengan rapi, sebab bisa jadi suatu kebenaran yang tidak terorganisir dengan rapi akan dengan mudah bisa diluluhlantakan oleh kebathilan yang tersusun rapi.
Organisasi dalam pandangan Islam bukan semata-mata wadah, melainkan lebih menekankan pada bagaimana sebuah pekerjaan dilakukan secara rapi.Organisasi lebih menekankan pada pengaturan mekanisme kerja.Dalam sebuah organisasi tentu ada pemimpin dan bawahan.[20]
Sementara itu Ramayulis menyatakan bahwa pengorganisasian dalam pendidikan Islam adalah proses penentuan struktur, aktivitas, interkasi, koordinasi, desain struktur, wewenang, tugas secara transparan, dan jelas. Dalam lembaga pendidikan Isla, baik yang bersifat individual, kelompok, maupun kelembagaan.[21]
Sebuah organisasi dalam manajemen pendidikan Islam akan dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan tujuan jika konsisten dengan prinsip-prinsip yang mendesain perjalanan organisasi yaitu Kebebasan, keadilan, dan musyawarah. Jika kesemua prinsip ini dapat diaplikasikan secara konsisten dalam proses pengelolaan lembaga pendidikan islam akan sangat membantu bagi para manajer pendidikan Islam.
Dari uraian di atas dapat difahami bahwa pengorganisasian merupakan fase kedua setelah perencanaan yang telah dibuat sebelumnya. Pengorganisasian terjadi karena pekerjaan yang perlu dilaksanakan itu terlalu berat untuk ditangani oleh satu orang saja.Dengan demikian diperlukan tenaga-tenaga bantuan dan terbentuklah suatu kelompok kerja yang efektif.Banyak pikiran, tangan, dan keterampilan dihimpun menjadi satu yang harus dikoordinasi bukan saja untuk diselesaikan tugas-tugas yang bersangkutan, tetapi juga untuk menciptakan kegunaan bagi masing-masing anggota kelompok tersebut terhadap keinginan keterampilan dan pengetahuan.
3. Fungsi Pengarahan (directing).
Pengarahan adalah proses memberikan bimbingan kepada rekan kerja sehingga mereka menjadi pegawai yang berpengetahuan dan akan bekerja efektif menuju sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
Di dalam fungsi pengarahan terdapat empat komponen, yaitu pengarah, yang diberi pengarahan, isi pengarahan, dan metode pengarahan.Pengarahadalah orang yang memberikan pengarahan berupa perintah, larangan, dan bimbingan.Yang diberipengarahan adalah orang yang diinginkan dapat merealisasikan pengarahan.Isi pengarahan adalah sesuatu yang disampaikan pengarah baik berupa perintah, larangan, maupun bimbingan.Sedangkan metode pengarahan adalah sistem komunikasi antara pengarah dan yang diberi pengarahan.
Dalam manajemen pendidikan Islam, agar isi pengarahan yang diberikan kepada orang yang diberi pengarahan dapat dilaksanakan dengan baik maka seorang pengarah setidaknya harus memperhatikan beberapa prinsip berikut, yaitu : Keteladanan, konsistensi, keterbukaan, kelembutan, dan kebijakan. Isi pengarahan baik yang berupa perintah, larangan, maupun bimbingan hendaknya tidak memberatkan dan diluar kemampuan sipenerima arahan, sebab jika hal itu terjadi maka jangan berharap isi pengarahan itu dapat dilaksanakan dengan baik oleh sipenerima pengarahan.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa fungsi pengarahan dalam manajemen pendidikan Islam adalah proses bimbingan yang didasari prinsip-prinsip religius kepada rekan kerja, sehingga orang tersebut mau melaksanakan tugasnya dengan sungguh- sungguh dan bersemangat disertai keikhlasan yang sangat mendalam.
4. Fungsi Pengawasan (Controlling)
Pengawasan adalah keseluruhan upaya pengamatan pelaksanaan kegiatan operasional guna menjamin bahwa kegiatan tersebut sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.Bahkan Didin dan Hendri menyatakan bahwa dalam pandangan Islam pengawasan dilakukan untuk meluruskan yang tidak lurus, mengoreksi yang salah dan membenarkan yang hak.[22]
Dalam pendidikan Islam pengawasan didefinisikan sebagai proses pemantauan yang terus menerus untuk menjamin terlaksananya perencanaan secara konsekwen baik yang bersifat materil maupun spirituil.
Menurut Ramayulis (2008:274) pengawasan dalam pendidikan Islam mempunyai karakteristik sebagai berikut: pengawasan bersifat material dan spiritual, monitoring bukan hanya manajer, tetapi juga Allah Swt, menggunakan metode yang manusiawi yang menjunjung martabat manusia. Dengan karakterisrik tersebut dapat dipahami bahwa pelaksana berbagai perencaan yang telah disepakati akan bertanggung jawab kepada manajernya dan Allah sebagai pengawas yang Maha Mengetahui. Di sisi lain pengawasan dalam konsep Islam lebih mengutamakan menggunakan pendekatan manusiawi, pendekatan yang dijiwai oleh nilai-nilai keislaman.[23]

G. Penutup
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Manajemen Pendidikan Islam adalah proses pemanfaatan semua sumber daya yang dimiliki (ummat Islam, lembaga pendidikan atau lainnya) baik perangkat keras maupun lunak. Pemanfaatan tersebut dilakukan melalui kerjasama dengan orang lain secara efektif, efisien, dan produktif untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat.
Banyak sekali para ulama di bidang manajemen yang menyebutkan tentang fungsi-fungsi manajemen diantaranya adalah Mahdi bin Ibrahim, dia mengatakan bahwa fungsi manajemen itu di antaranya adalah Fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan.
Manakalapara Manajer dalam pendidikan Islam telah bisa melaksanakan tugasnya dengan tepat seuai dengan fungsi manajemen di atas, terhindar dari semua ungkapan sumir yang menyatakan bahwa lembaga pendidikan Islam dikelola dengan manajemen yang asal-asalan tanpa tujuan yang tepat. Maka tidak akan ada lagi lembaga pendidikan Islam yang ketinggalan Zaman, tidak teroganisir dengan rapi, dan tidak memiliki sisten kontrol yang sesuai.



DAFTAR BACAAN


Didin hafidudin dan Hendri Tanjung,  Manajemen Syari’ah dalam Praktik,(Jakarta: Gema Insani,2003)

Mochtar Efendy, Manajemen Suatu Pendekatan Berdasarkan Agama Islam.(Jakarta:PT.Bharata Karya Aksara, 1986)

Mujammil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,(Jakarta: Erlangga, 2007)
Mahdi bin Ibrahim, Amanah dalam Manajemen, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, , 1997)
Romayulis, Ilmu Pendidikan  Islam,(Jakarta : kalam Mulia,2008)

Robin dan Coulter, Manajemen,(Jakarta: PT Indeks, 2007), edisi ke-VIII

Sondang P Siagian, Filsafat Administrasi, (Jakarta: CV Masaagung, 1990),





[1] Didin hafidudin dan Hendri Tanjung,  Manajemen Syari’ah dalam Praktik,(Jakarta: Gema Insani,2003),hlm.1.
[2]Mochtar Efendy, Manajemen Suatu Pendekatan Berdasarkan Agama Islam.(Jakarta:PT.Bharata Karya Aksara, 1986), hlm.9.
[3]Romayulis, Ilmu Pendidikan  Islam,(Jakarta : kalam Mulia,2008). hlm.362.
[4] Robin dan Coulter, Manajemen,(Jakarta: PT Indeks, 2007), edisi ke-VIII, hlm.8.
[5] Sondang P Siagian, Filsafat Administrasi, (Jakarta: CV Masaagung, 1990), hlm.5.
[6] Romayulis, Ilmu Pendidikan  Islam, hlm.260.
[7] Mujammil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,(Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 10.
[8]Mujammil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, hlm. 11-12.
[9] Dede Rosyada, Paradiqma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 236.
[10]Mujammil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, hlm. 15.
[11] Mujammil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam. Ibid.
[12] Mujammil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam. hlm. 17.
[13]Mujammil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, hlm.18.
[14]Mujammil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, hlm. 19.
[15]Mujammil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, hlm. 21.
[16] Muhammad Ali Al Shabuni, Shofwat Al Tafasir, jilid IV (Beirut: Dar al Fikr,tt), hlm. 355.
[17]Mujammil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, hlm.36-38.
[18]Mahdi bin Ibrahim, Amanah dalam Manajemen, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, , 1997), hlm. 63.

[19] Romayulis, Ilmu Pendidikan  Islam, hlm.272.
[20] Didin hafidudin dan Hendri Tanjung,  Manajemen Syari’ah dalam Praktik, hlm. 101.
[21] Romayulis, Ilmu Pendidikan  Islam, hlm.272.
[22] Didin hafidudin dan Hendri Tanjung,  Manajemen Syari’ah dalam Praktik, hlm. 156.
[23] Romayulis, Ilmu Pendidikan  Islam, hlm.274.

0 komentar:

Posting Komentar