Pages

Senin, 13 Juni 2011

POLITIK ISLAM

A. Pengertian Politik Islam
Dalam kamus umum bahasa Indonesia, karangan W.J.S Poerwadarminta, politik diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya; dan dapat pula berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan), siasat dan sebagainya menenganai pemerintahan sesuatu Negara atau terhadap Negara lain.
Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa - yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara). Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim).
Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal.
Sedangkan Politik Islam adalah aktifitas politik yang didasari oleh nilai / prinsip Islam, baik dari titik tolak (starting point), program, agenda, tujuan, sarana dan lainnya harus sesuai dengan petunjuk Islam. Oleh karenanya, di lapangan, politik Islam harus tampil beda dengan politik non Islam. Jika politik konvensional bisa menggunakan cara apa saja untuk mencapai tujuannya, maka politik Islam tidak boleh demikian. Ada variabel lain yang harus diperhatikan, seperti etika Islam, ketentuan hukum Islam dll.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan seluruh umat Muslim.
Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan sekularisme, baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat Islam sendiri. Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh para politisi maupun penguasa. Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam, kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan, dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu propaganda kaum sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau tidak mempengaruhi sebagian kaum muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran yang digunakan untuk kebathilan. Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.
B. Tujuan Politik Islam
Pada prinsipnya politik Islam bertujuan untuk menggoalkan syari'at Islam sebagai sumber hukum tertinggi dalam tata hukum Nasional. Semua hukum dan peraturan yang berlaku di negeri itu harus mengacu kepada sumber hukum tertinggi (syari'at). Tidak boleh bertentangan dengannya. Jika ada pertentangan, maka peraturan/undang-undang itu batal dengan sendirinya.
Politik yang tidak mempunyai misi seperti ini, tidak dapat digolongkan sebagai politik Islam. Sebab, politik bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan. Dan yang diperjuangkan politik Islam, adalah tegaknya kekuasaan Islam yang berfungsi sebagai alat untuk menjalankan syari'at Islam. Karena banyak hukum-hukum syari'at yang tak dapat terlaksana tanpa dukungan kekuasaan. Seluruh ketentuan Hudud (fix penalty) dan ketentuan Pidana Islam secara umum tak dapat dilaksanakan tanpa kekuasaan. Pernikahanpun demikian, keberadaan penguasa sangat dibutuhkan.
Dalam hadits disebutkan, Penguasa (sulthan) adalah wali bagi perempuan yang tidak mempunyai wali. Demikian juga dengan aspek hukum lainnya, perdata, dagang, pemerintahan, dll. Soal urgensi kekuasaan tak dapat dipungkiri siapapun yang memahami syari'at Islam secara benar. Contohnya zakat, siapakah yang memiliki otoritas untuk memungut zakat dari kaum aghniya' (orang kaya), kalau bukan penguasa Islam? Selama ini perdebatan di tengah umat, apakah kekuasaan itu bagian Islam yang harus direbut dan diperjuangkan atau ia merupakan proses alamiah yang akan terwujud dengan sendirinya (dengan anugerah Allah Swt), tanpa diupayakan, setelah mana aqidah umat Islam menjadi kuat dan kokoh. Perdebatan itu tak kunjung berakhir, sehingga masing-masing kelompok umat mengambil jalan masing-masing sebagai kelanjutan dari idenya. Ada jama'ah Salafiyah, ada pula Ikhwan Muslimin (Mesir), Masyumi (Indonesia), PAS (Malaysia), Jemaat Islami (Pakistan), dll.
Kelompok Salafi, menolak ikut campur dalam setiap persoalan politik apapun. Mereka fokus melakukan dakwah meluruskan akidah umat dan membasmi apa yang mereka anggap sebagai bid'ah. Bahkan politik adalah bid'ah dalam penilaian mereka.
Sementara Ikhwan, Jemaat Islami, PAS dan Masyumi melihat politik adalah bagian dari Islam yang harus diperjuangkan setelah dirampas oleh kekuatan penjajah yang menguasai negeri-negeri Islam. Tapi terlepas dari perbedaan itu, semua umat sepakat akan kewajiban menjalankan hukum Allah, selain mereka yang termasuk kaum sekuler. Persoalan yang juga tak kunjung selesai diperdebatkan, bisakah syari'at diperjuangkan melalui sistem demokrasi yang ada sekarang? Sebagian kalangan umat Islam, seperti Hizbut Tahrir dan lainnya, berpendapat tak perlu ikut dalam pertarungan politik yang diciptakan oleh barat, karena sistem ini adalah permainan belaka, yang tidak menguntungkan perjuangan Islam. Kekuatan sekuler tidak pernah berlaku jujur dalam percaturan politik. Setiap kali kekuatan Islam akan memenangkan pertarungan, mereka akan melakukan apa saja untuk menjegalnya sehingga akhirnya kekuatan politik Islam tidak bakal pernah menuai kemenangan untuk berkuasa.
Sebagai bukti, perjuangan politik Islam di Aljazair, kendatipun meraih suara terbesar dalam pemilu, tetapi akhirnya hasil pemilu dibekukan. FIS akhirnya gagal berkuasa. Di Turki, kekuatan politik Islam menang dalam pemilu, tetapi akhirnya militer melakukan intervensi, sehingga pihak Islam gagal berkuasa. Belajar dari pengalaman itu, beberapa kalangan Islam menganggap perjuangan politik dengan jalur demokrasi barat adalah pekerjaan sia-sia yang menghabiskan energi, waktu dan dana. Karena barat dan antek-anteknya tidak akan mendiamkan politik Islam untuk berkuasa. Mereka akan merongrongnya dengan menggunakan tangan militer, bila kekuatan sipil tidak mampu menghambatnya.
Sementara pihak lain menganggap bahwa sistem demokrasi ini masih memberikan celah bagi tegaknya kekuasaan Islam kembali. Oleh karenanya sistem ini harus dimanfaatkan seoptimal mungkin, sebab jika tidak, ia akan dipakai oleh musuh Islam untuk memukul kekuatan Islam.
Di Indonesia, belum pernah kekuatan politik Islam berhasil memegang kekuasaan tertinggi. Masjumi pernah menjadi partai besar meraih 20% suara, dan M.Natsir, tokohnya, menduduki jabatan sebagai Perdana Menteri Pertama RI. Namun perjuangan menegakkan syari'at oleh Masyumi secara all-out hanya sampai pada Piagam Jakarta, yang ujungnya juga gagal dilaksanakan, karena persekongkolan kaum sekuler. Lalu di era reformasi ini, belum kelihatan tanda-tanda penerapan syari'ah, karena perjuangan parpol-parpol Islam juga tampaknya setengah hati. Ada juga yang malu-malu menggunakan kata syari'at, karena takut dicap 'teroris'. Mereka lupa bahwa perjuangan menegakkan syari'at jauh sebelum lahirnya cap 'terorisme'. Dan kendatipun mereka mencari istilah lain (bukan kata 'syari'at'), bukan berarti mereka aman dari kejaran musuh-musuh Islam. Pertarungan antara kubu al-haq dan kubu al-batil tak kunjung berhenti, walaupun dengan merubah jargon-jargon yang sudah ada.
Kegagalan dalam memperjuangkan syari'at di tingkat Nasional, memaksa untuk mengalihkan perjuangan ke kawasan yang lebih sempit, pada tingkat kabupaten/kota. Ada sejumlah kabupaten yang berhasil menelurkan perda-perda yang bernuansa syari'at, karena usaha keras dari kepala wilayah setempat dan didukung oleh DPR Daerahnya. Ada kabupaten Bulukumba di Sulsel dan Sumenep di Madura yang secara terang-terangan mengumumkan pelaksanaan Syari'at dalam peraturan daerahnya. Juga ada perda 'syari'ah' di kota Tangerang, kabupaten Pandeglang dan di kota-kota lainnya.
Inilah usaha-usaha kecil setelah gagal pada tingkat Nasional. Tapi sayang, jumlah daerah yang menyatakan kesiapannya menjalankan syari'at itu masih terlalu sedikit di banding yang lainnya. Padahal puluhan kabupaten/kota yang pilkadanya dimenangkan partai Islam, baik sebagai orang nomor 1 atau nomor 2. Tetapi mereka tidak mengangkat isu syariat sebagai agenda mereka. Entah apa sebabnya, wallahu a'lam. Mungkin karena pragmatisme tadi, menganggap isu syariat tidak populer lagi. Kegagalan itu disebabkan karena ketidak seriusan parpol Islam dalam berjuang dan lebih memikirkan kepentingan sempit partainya. Artinya dunia lebih mendapat tempat di hati mereka ketimbang idealisme perjuangan. Masyumi dulu mengedepankan idealisme itu daripada pertimbangan politik pragmatis. Itulah yang disebut dengan 'politik Islam'.
Sekarang Aceh seharusnya menjadi pilot project bagi perjuangan syari'at. Alangkah indahnya jika seluruh kalangan all-out membenahi penerapan syari'at di Aceh, agar menjadi pemikat bagi daerah lain, mulai dari perangkat hukumnya, sampai menjaga image positif terhadap syari'at. Bahkan tidak hanya parpol, juga ormas Islampun harus ikut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan syariat di Aceh. Namun dalam kenyataan, pelaksanaan syari'at di Aceh seperti kurang mendapat dukungan dari parpol Islam sendiri. Parpol sibuk dengan agendanya sendiri seperti pilkada yang menelan energi dan dana. Hal itu terjadi di tengah upaya keras sejumlah LSM menggagalkan syariat di Aceh. Media di Aceh menggambarkan syariat di Aceh dengan image yang buruk. Berita-berita miring tentang pelaksanaan syariat dibesar-besarkan. Yang positifnya dipeti-eskan. Masyarakat Aceh haruslah bangkit melawan upaya pihak-pihak yang ingin merongrong syariat di Aceh, apalagi setelah peristiwa Tsunami, di mana cengkeraman asing tampak semakin kuat di Aceh. Dan mereka ini jelas berada di belakang upaya penggagalan pelaksanaan syariat di Aceh. Prilaku orang di jalan-jalan di kota Banda Aceh setelah Tsunami sudah jauh berubah dari waktu sebelum masuknya LSM-LSM asing. Akan kah syariat di Aceh bertahan setelah perubahan kepemimpinan atau malah akan terancam? Hari-hari ke depanlah yang akan menjawabnya.
C. Teori Politik Islam
Di antara fenomena yang disadari oleh sebagian pengkaji teori-teori politik secara umum, adalah: adanya hubungan yang erat antara timbulnya pemikiran-pemikiran politik dengan perkembangan kejadian-kejadian historis. Teori-teori ini berkaitan amat erat dengan kejadian-kejadian sejarah Islam. Hingga hal itu harus dilihat seakan-akan keduanya adalah seperti dua sisi dari satu mata uang, yang saling melengkapi satu sama lain. Inilah beberapa metode yang kami gunakan :
1. Era Kenabian
Era ini merupakan era pertama dalam sejarah Islam. Yaitu dimulai semenjak Rasulullah Saw memulai berdakwah mengajak manusia untuk menyembah Allah Swt hingga meninggalnya beliau. Era ini paling baik jika kita namakan sebagai era "kenabian" atau "wahyu". Karena era itu memiliki sifat tertentu yang membedakan-nya dari era-era yang lain. Ia merupakan era ideal yang padanya ideal-ideal Islam terwujudkan dengan amat sempurna.
Era ini terbagi menjadi dua masa, yang keduanya dipisahkan oleh hijrah. Kedua fase itu tidak memiliki perbedaan dan kelainan satu sama lain, seperti yang diklaim oleh beberapa orientalis. Bahkan fase yang pertama merupakan fase yang menjadi titik tolak bagi fase kedua. Pada fase pertama, embrio 'masyarakat Islam' mulai tumbuh, dan telah ditetapkan kaidah-kaidah pokok Islam secara general. Kemudian pada fase kedua bangun 'masyarakat Islam' itu berhasil dibentuk, dan kaidah-kaidah yang sebelumnya bersifat general selesai dijabarkan secara mendetail. Syari'at Islam disempurnakan dengan mendeklarasikan prinsip-prinsip baru, dan dimulailah pengaplikasian dan pelaksanaan prinsip-prinsip itu seluruhnya. Sehingga tampillah Islam dalam bentuk sosialnya secara integral dan aktif, yang semuanya menuju kepada tujuan-tujuan yang satu.
Sejarah, dalam pandangan politik, lebih terpusat pada fase kedua dibandingkan dengan fase pertama. Karena saat itu jama'ah Islam telah menemukan kediriannya, dan telah hidup dalam era kebebasan dan independensi. Ia juga telah meraih 'kedaulatan'nya, secara penuh. Sehingga prinsip-prinsip Islam sudah dapat diletakkan dalam langkah-langkah praksis. Namun, dalam pandangan sejarah, ciri terbesar yang menandai kedua fase itu adalah sifatnya sebagai fase 'pembentukan', dan fase pembangunan dan permulaan. Fase ini memiliki urgensitas yang besar dalam menentukan arah kejadian-kejadian historis selanjutnya, dan sebagai peletak rambu-rambu yang diikuti oleh generasi-generasi berikutnya sepanjang sejarah.
Sedangkan dari segi pemikiran teoritis, pengaruhnya terbatas pada kenyataannya sebagai ruh umum yang terus memberikan ilham terhadap pemikiran ini, memberikan contoh atau teladan ideal yang menjadi rujukan pemikiran-pemikiran itu, meskipun pemikiran-pemikiran itu berbeda satu sama lain, dan memberikan titik pertemuan bagi pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab yang berbeda. Sedangkan selain itu, ia tidak memiliki hubungan dengan tumbuhnya pendapat-pendapat parsial yang memiliki kekhasan masing-masing. Terutama jika objek kajiannya adalah analisis terhadap sistem umum yang menjadi platform kenegaraan ummat, atau tentang hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, atau analisis terhadap salah satu sifatnya. Atau dengan kata lain, analisis terhadap masalah-masalah yang dinamakan sebagai 'politik'. Karena pendapat-pendapat personal itu tidak tumbuh dalam satu atmospir. Namun pendapat-pendapat itu tampil seiring dengan terjadinya perbedaan pendapat dan kecenderungan-kecenderungan. Yang mendorong timbulnya pendapat-pendapat itu juga adalah adanya perasaan kurang sempurna yang ada di tengah masyarakat, dan keinginan untuk mengoreksi sistem atau perilaku-perilaku yang sedang berlangsung.
Sedangkan jika suatu sistem telah sempurna, yang mencerminkan prinsip-prinsip agung yang diamini oleh seluruh anggota jama'ah (ummat), dan adanya persatuan yang terwujud di antara individu-individu, kemudian mereka menyibukkan diri mereka untuk berbicara dan berdebat tentang agenda-agenda kerja yang besar, niscaya tidak diperlukan sama sekali tumbuhnya pendapat-pendapat individu atau tampil 'teori-teori'.
Demikianlah, era Rasulullah Saw mencerminkan era persatuan, usaha dan pendirian bangunan umat. Serta menampilkan ruh yang mewarnai kehidupan politik, dan mewujudkan replika bangunan masyarakat yang ideal untuk diteladani dan ditiru oleh generasi-generasi yang datang kemudian. Namun, 'pemikiran teoritis' saat itu belum dimulai. Hal ini tentu amat logis dengan situasi yang ada. Yang jelas, belum ada kebutuhan terhadap hal itu. Namun demikian, belum lagi era tersebut berakhir, sudah timbul faktor-faktor fundamental yang niscaya mendorong timbulnya pemikiran ini, dan membentuk 'teori-teori politik' secara lengkap.
Di antara faktor-faktor yang terpenting ada tiga hal: pertama, sifat sistem sosial yang didirikan oleh Rasulullah Saw. Kedua, pengakuan akan prinsip kebebasan berpikir untuk segenap individu. Ketiga, penyerahan wewenang kepada umat untuk merinci detail sistem ini, seperti tentang metode manajerialnya, dan penentuan beberapa segi formatnya. Kami perlu menjelaskan lebih lanjut tentang faktor-faktor ini.
2. Islam dan Politik
Sistem yang dibangun oleh Rasulullah Saw dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah --jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel politik di era modern-- tidak disangsikan lagi dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence. Dalam waktu yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motivasinya, dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.
Dengan demikian, suatu sistem dapat menyandang dua karakter itu sekaligus. Karena hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Bahkan filsafat umumnya merangkum kedua hal itu, dan tidak mengenal pemisahan antara keduanya, kecuali dari segi perbedaan pandangan. Sedangkan kedua hal itu sendiri, keduanya menyatu dalam kesatuan yang tunggal secara solid; saling beriringan dan tidak mungkin terpisah satu sama lain. Fakta tentang sifat Islam ini amat jelas, sehingga tidak membutuhkan banyak kerja keras untuk mengajukan bukti-bukti. Hal itu telah didukung oleh fakta-fakta sejarah, dan menjadi keyakinan kaum Muslimin sepanjang sejarah yang telah lewat. Namun demikian, ada sebagian umat Islam sendiri, yang mengklaim diri mereka sebagai 'kalangan pembaru', dengan terang-terangan mengingkari fakta ini!. Mereka mengklaim bahwa Islam hanyalah sekadar 'dakwah agama' (3): maksud mereka adalah, Islam hanyalah sekadar keyakinan atau hubungan ruhani antara individu dengan Rabb-nya. Dan dengan demikian tidak memiliki hubungan sama sekali dengan urusan-urusan yang kita namakan sebagai urusan materi dalam kehidupan dunia ini. Di antara urusan-urusan ini adalah: masalah-masalah peperangan dan harta, dan yang paling utama adalah masalah politik. Di antara perkataan mereka adalah: "agama adalah satu hal, dan politik adalah hal lain".
Untuk mengcounter pendapat mereka, tidak ada manfaatnya jika kami mendedahkan pendapat-pendapat ulama Islam; karena mereka tidak mau mendengarkannya. Juga kami tidak memulainya dengan mengajukan fakta-fakta sejarah, karena mereka dengan sengaja telah mencampakkannya!. Oleh karena itu, cukuplah kami kutip beberapa pendapat orientalis dalam masalah ini, dan mereka telah mengutarakan hal itu dengan redaksi yang jelas dan tegas. Hal itu kami lakukan karena para 'pembaru-pembaru' itu tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih modern dari para orientalis itu, juga tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih mampu dalam menggunakan metode-metode riset modern, dan penggunaan metode-metode ilmiah. Di antara pendapat-pendapat para orientalis itu adalah sebagai berikut:
  1. Dr. V. Fitzgerald (4) berkata: "Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan 'modernis', yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat dipisahkan satu sama lain".
  2. Prof. C. A. Nallino (5) berkata: "Muhammad telah membangun dalam waktu bersamaan: agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas teritorial negara yang ia bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya".
  3. Dr. Schacht berkata (6): " Islam lebih dari sekadar agama: ia juga mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, ia merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan".
  4. Prof. R. Strothmann berkata (7): "Islam adalah suatu fenomena agama dan politik. Karena pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politikus yang bijaksana, atau "negarawan".
  5. Prof D.B. Macdonald berkata (8): "Di sini (di Madinah) dibangun negara Islam yang pertama, dan diletakkan prinsip-prinsip utama undang-undang Islam".
  6. Sir. T. Arnold berkata (9): " Adalah Nabi, pada waktu yang sama, seorang kepala agama dan kepala negara".
  7. Prof. Gibb berkata (10): "Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam bukanlah sekadar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangun masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi".
3. Bukti Sejarah
Seluruh pendapat-pendapat tadi diperkuat oleh fakta-fakta sejarah : di antara fakta sejarah yang tidak dapat diingkari oleh siapapun adalah, setelah timbulnya dakwah Islam, kemudian terbentuk bangunan masyarakat baru yang mempunyai identitas independen yang membedakannya dari masyarakat lain. Mengakui satu undang-undang, menjalankan kehidupannya sesuai dengan sistem yang satu, menuju kepada tujuan-tujuan yang sama, dan di antara individu-individu masyarakat yang baru itu terdapat ikatan ras, bahasa, dan agama yang kuat, serta adanya perasaan solidaritas secara umum. Bangunan masyarakat yang memiliki semua unsur-unsur tadi itulah yang dinamakan sebagai bangunan masyarakat 'politik'. Atau yang dinamakan sebagai 'negara'. Tentang negara, tidak ada suatu definisi tertentu, selain aanya fakta terkumpulnya karakteristik-karakteristi yang telah disebutkan tadi dalam suatu bangunan masyarakat.
Di antara fakta-fakta sejarah yang tidak diperselisihkan juga adalah, bangunan masyarakat politik ini atau 'negara', telah memulai kehidupan aktifnya, dan mulai menjalankan tugas-tugasnya, dan merubah prinsip-prinsip teoritis menuju dataran praksis. Setelah tersempurnakan kebebasan dan kedaulatannya, dan kepadanya dimasukkan unsur-unsur baru dan adanya penduduk. Yaitu setelah pembacaan bai'at Aqabah satu dan dua, yang dilakukan antara Rasulullah Saw dengan utusan dari Madinah, yang dilanjutkan dengan peristiwa hijrah. Para faktanya, kedua bai'at ini --yang tidak diragukan oleh seorangpun tentang berlangsungnya kedua bai'at ini-- merupakan suatu titik transformasi dalam Islam (11). Dan peristiwa hijrah hanyalah salah satu hasil yang ditelurkan oleh kedua peristiwa bai'at itu. Pandangan yang tepat terhadap kedua bai'at tadi adalah dengan melihatnya sebagai batu pertama dalam bangunan 'negara Islam'. Dari situ akan tampak urgensitas kedua hal itu. Alangkah miripnya kedua peristiwa bai'at itu dengan kontrak-kontrak sosial yang di deskripsikan secara teoritis oleh sebagian filosof politik pada era-era modern. Dan menganggapnya sebagai fondasi bagi berdirinya negara-negara dan pemerintahan. Namun bedanya, 'kontrak sosial' yang dibicarakan Roussou dan sejenisnya hanyalah semata ilusi dan imajinasi, sementara kontrak sosial yang terjadi dalam sejarah Islam ini berlangsung dua kali secara realistis di Aqabah. Dan di atas kontrak sosial itu negara Islam berdiri. Ia merupakan sebuah kontrak historis. Ini merupakan suatu fakta yang diketahui oleh semua orang. Padanya bertemu antara keinginan-keinginan manusiawi yang merdeka dengan pemikiran-pemikiran yang matang, dengan tujuan untuk mewujudkan risalah yang mulia.
Dengan demikian, negara Islam terlahirkan dalam keadaan yang amat jelas. Dan pembentukannya terjadi dalam tatapan sejarah yang jernih. Karena Tidak ada satu tindakan yang dikatakan sebagai tindakan politik atau kenegaraan, kecuali dilakukan oleh negara Islam yang baru tumbuh ini. Seperti Penyiapan perangkat untuk mewujudkan keadilan, menyusun kekuatan pertahanan, mengadakan pendidikan, menarik pungutan harta, mengikat perjanjian atau mengirim utusan-utusan ke luar negeri. Ini merupakan fakta sejarah yang ketiga. Adalah mustahil seseorang mengingkarinya. Kecuali jika kepadanya dibolehkan untuk mengingkari suatu fakta sejarah yang terjadi di masa lalu, dan yang telah diterima kebenarannya oleh seluruh manusia. Dari fakta-fakta yang tiga ini --yang telah kami sebutkan-- terbentuk bukti sejarah yang menurut kami dapat kami gunakan sebagai bukti --di samping pendapat kalangan orientalis yang telah disitir sebelumnya-- atas sifat politik sistem Islam. Jika telah dibuktikan, dengan cara-cara yang telah kami gunakan tadi, bahwa sistem Islam adalah sistem politik, dengan demikan maka terwujudlah syarat pertama yang mutlak diperlukan bagi keberadaan pemikiran politik. Karena semua pemikiran tentang hal ini: baik tentang pertumbuhannya, hakikatnya, sifat-sifatnya atau tujuan-tujuannya, niscaya ia menyandang sifat ini, yaitu sifatnya sebagai suatu pemikiran politik

0 komentar:

Posting Komentar